Our amazing new site will launch in

Jumat, 14 Desember 2012

plan

Baiklah, akhir semester ini cukup membuat banyak hibernasi di rumah. Dengan untuk menghilangkan kepenatan akhirnya proses novelku berjalan juga. sebenasrnya hanya iseng-iseng sih tapi semoga aja bisa jadi tuh novel haha. cukup lah bareng status yang lagi move on gini wkwkw. just planning, wish can be there haha!

Rabu, 19 September 2012

Cerpen V




Andaikan, ya. Andaikan!(V)
Karya: Asri Saepul Putri

27 Agustus 2010 adalah tanggal pengumuman hasil dari perlombaan kemarin. Caca dan Rara duduk menunggu hasil dari penampilan mereka. Caca menatap Rara aneh. Rara yang menyadarinya lantas ikut menatap Caca bingung.
“Kenapa, Ca?”
“Liontin dari Ayah sama Bunda mana, Kak?” Rara memeriksa lehernya. Ia terpaku saat menyadari liontinnya hilang.
“Kamu emang gak liat, Ca? Kamu, Yo?” tanya Rara panik.
“Aku aja baru sadar tadi. Aku gak tau,” bantah Caca. Rara mengalihkan pandangannya pada Tyo.
“Kamu tau, kan?” Tyo menggeleng.
“Aku pikir kamu emang sengaja gak pake liontin itu,” Rara melotot.
“Itu, kan. Liontin keluargaku. Aduhh, dimana sih?” kesal Rara bolak-balik mencari liontinnya.
“Ini gara-gara musik. Kalau aja aku gak…”
Seseorang memotong kata-katanya, “Ini liontinmu?” Rara, Caca, dan Tyo berbalik.
“Bunda…,” kata Rara dan Caca melihat sosok yang ada didepannya. Wanita paru bayah itu memeluk Rara dan Caca erat.
“Kalian Ara sama Caca, kan?” wanita itu merenggangkan pelukannya.
“Iya. Kita Ara sama Caca,” wanita itu tersenyum penuh haru. Rara dan Caca yang juga sangat merindukan orantuanya tersenyum manis. Tyo merasakan keharuan dari pertemuan mereka. Wanita yang ternyata Bu Rhena itu duduk ditengah kedua putri-putrinya.
Mereka tidak ingin dulu berbicara banyak karena ingin mendengar dulu prestasi yang akan diraih Caca. Hati Caca lebih dag-dig-dug dari mereka berempat. Caca menggenggam tangan Bu Rhena dengan keringat dinginnya.
“Juara kedua diraih oleh Ratu Dwiana dari SMA Negeri 02 Jakarta Timur.” Caca semakin bergetar. Rara dan Bu Rhena terus memberi dukungan untuk Caca.
“Dan juara pertama kita tahun ini adalah… Desya Heriawan dari SMA Bina Global Jakarta,” Caca sontak jingkrak-jingkrak. Ia tersenyum bahagia. Ia memeluk Rara dan Bu Rhena kemudian naik ke atas panggung.
Caca mengucapkan terima kasih yang sungguh besar untuk Rara, Tyo, Egi, dan seluruh sahabat-sahabatnya. Ia tak menyangka semuanya akan indah seperti sekarang ini
***
Kafe Victoria, 14.00
Caca, Rara, Tyo, Bu Rhena, dan Egi sedang merayakan keberhasilan Caca kali ini. Mereka sengaja lunch bareng. Tampak rona kebahagiaan dari wajah mereka terlebih dari Caca. Rara menceritakan bahwa dia selama ini sempat membenci hal-hal berbau musik. Bu Rhena hanya geleng-geleng. Rara juga ikut terkekeh.
“Ngomong-ngomong selama ini  Bunda kemana?” tanya Rara.
“Setelah kejadian itu, Bunda amnesia sayang. Bunda gak inget apa-apa. Bunda selama ini tinggal di pedesaan sama nenek-nenek baik hati. Seminggu yang lalu, mama ngerantau ke Jakarta buat nyari kerjaan. Nah, mama dapet kerjaan di cathering,” tutur Bu Rhena.
“Terus kenapa bisa dapet liontin kak Ara?” tanya Caca.
“Bunda lagi nganterin kesana. Nah, pas Bunda lewat. Bunda gak sengaja nginjek liontin itu, Bunda ambil aja. Tiba-tiba ingetan Bunda pulih setelah liat liontin itu, meski sempet pusing dulu. Bunda pengen ngejar kalian, tapi kalian udah pergi. Jadi, Bunda kesana lagi tadi,” tungkas Bu Rhena. Mereka manggut-manggut.
“Mas Deni mana? Ayah mana, sayang?” seketika mereka terdiam. Caca menundukkan kepalanya.
“Ayah udah gak ada, Bun. Gara-gara kecelakaan waktu itu,” ujar Caca pelan.
Mata Bu Rhena berkaca-kaca. Ingin ia menangisi hal ini, namun tak mungkin ia menangis di depan kedua putrinya. Ini hanya akan membuat mereka ikut terbawa kesedihan mendalam yang telah sekian tahun terlewatkan.
Caca dan Rara memeluk Bu Rhena erat.
“Ternyata musik gak seburuk apa yang aku pikirin. Dengan musik aku bisa ketemu sama mama,” ujar Rara setelah melepaskan pelukannya.
“Bukan musik yang salah, ini takdir Tuhan,” ujar Bu Rhena tersenyum manis. Caca, Rara, Egi, dan Tyo menatap Bu Rhena seakan memberikan jawaban bahwa mereka mengerti.
Caca sekarang mengerti. Dia percaya, jika dia berniat merubah sesuatu bukan hanya menunggu, menunggu, dan menunggu. Ia harus action juga. Jika memang ingin mendapatkan hasilnya.
Rara telah menyadari bahwa jangan pernah mengkambing hitamkan sesuatu dengan masalah yang dihadapinya. Ini hanya skenario dari Tuhan semata. Toh, Rara telah percaya bahwa Tuhan tidak akan memberikan masalah di luar batas kemampuannya. Semuanya juga akan indah jika telah waktunya, prinsip yang kini Rara tanamkan setelah semua kejadian sulitnya.

Kamis, 13 September 2012

Cerpen IV



Andaikan, ya. Andaikan!(IV)
Karya: Asri Saepul Putri

Seminggu berlalu, Caca tampak sudah sedikit merelakan ketidakikutsertaannya pada festival kali ini. Hari ini memang hari berlangsungnya festival tahunan di ibu kota. Festival yang sangat didambakannya selama ini. Caca melangkah tanpa ada ekspresi. Ia kemudian duduk didepan kakaknyadi meja maka-. Sempat ia bersapa ria dengan sang kakak lalu kembali beralih ke sarapannya.
Setelah itu, ia berangkat ke sekolah dengan sopir pribadi di rumahnya. Caca memang masih berharap suatu keajaiban dapat terjadi untuknya. Tapi, mana mungkin. Pendaftaran saja sudah di tutup 6 hari yang lalu. Ini mustahil, Caca harus segera melepaskan pengharapannya itu.
Caca duduk di kursi tepat depan meja gurunya. Ia mengambil buku catatan kecil bercover kartun elmo dengan sebuah pulpen yang sejenis. Ditulisnya semua keinginannya saat ini. Butir-butir bening yang telah dibendungnya sedari tadi, kita keluar di sudut kiri dan kanan matanya.
Seseorang mengelus punggung Caca. Caca menghapus air matanya dan bersikap seperti biasa. Orang tadi ternyata tak lain yaitu Egi. Dirinya berdiri di hadapannya.
“Kamu baik-baik aja, kan? Maafin aku, ya. Aku gak maksud,” Egi tahu bagaimana isi hati Caca saat ini. Caca tersenyum kecut.
“Udahlah, aku gak papa kok. Kamu tenang aja, lagian emang bukan waktunya kali. Percaya deh sama kata-kata kamu dulu. Semuanya juga bakal indah kalo udah waktunya, iya kan?” Egi mengangguk.
“Kamu jangan kayak gini lagi, ya. Mending kamu balik ke meja kamu. Udah mau bel tuh,” sambung Caca meyakinkan. Egi pun kembali ke bangkunya.
Pelajaran pun berlangsung dua jam. Saat ini memang waktu jeda, Caca dan teman-temannya pun sedang asyik bersenda gurau. Sekedar menghabiskan waktu kosong setelah mempersiapkan untuk pelajaran selanjutnya.
Tak lama, masuklah guru kimia kedalam kelas. Siswa/i pun kembali duduk rapisiap belajar. Beliau menyapa mereka dengan sangat hangat.
Tokk… tokk… tokk… suara ketukan pintu terdengar jelas karena keadaan kelas yang memang sangat tertib mengikuti pelajaran. Mereka hanya sesekali berisik jika terjadi kekosongan jam, jeda pelajaran, dan diskusi, atau pun sejenisnya.
Bu Ira guru kimia Caca membukakan pintu. Caca yang sedang sibuk berkutat dengan buku soalnya tak sedikitpun mengalihkan pandangannya. Egi yang menyadari sekaligus mengenal siapa yang datang sontak bingung kenapa dia datang?
   Bu Ira tampak berbincang dengan orang itu untuk beberapa menit yang kemudian memanggil Caca. Caca linglung, ia masih tak sadar siapa yang memanggilnya. Ia celingak-celinguk. Teman-temannya menahan tawa melihat sikap Caca yang seperti orang kebingungan mencari alamat.
Pusat pandangan matanya terhenti tepat di pintu kelasnya, didepan Bu Ira. Kak Rara, pekiknya dalam hati. Ini sungguh aneh, untuk apa Rara ke sekolah di jam pelajaran seperti sekarang ini.
Perempuan yang bersama Bu Ira masuk ke kelas. Caca menelan ludah masih tak percaya. Egi mengerutkan keningnya. Perempuan itu duduk di kursi tamu meja guru.
“Desya Heriawan, sini!!” panggil Bu Ira. Caca bangun dari duduknya. Ia menghampiri meja guru
“Kalian jangan berisik. Ibu mau berbicara dulu, kerjakan soalnya!”
“Baik, Bu,” ujar murid-murid. Mereka memang sangat menuruti apa kata gurunya.
Bu Ira menjelaskan kedatangan Rara menemuinya saat ini. Senyuman Caca merekah, ia tak menyangka Rara mau mengizinkannya mengikuti festival kali ini. Tanpa aba-aba, ia memeluk Rara hangat. Ucapan terima kasih tak lupa dikatakannya.
Caca pun saat ini juga harus segera pergi ke tempat festival itu dengan kakaknya karena memang tak ada waktu lagi. Egi yang mendengar percakapan mereka tersenyum tulus. Dihatinya ia mendukung sahabatnya itu. Doa-doa pun tak luput ia berikan.
***
Caca telah bertanya sebelumnya dengan sikap Rara yang menurutnya sangat berbeda. Ini karena ketidaksetujuan Rara jika Caca mendalami sesuatu berbau musik. Namun, Caca hanya diam. Tyo yang menemani mereka tak berani berkata apa-apa. Biarlah Rara yang menjelaskannya meski harus nanti.
Caca yang mendapat giliran nomor ke 53 harus menunggu lama gilirannya tampil. Rara menyuruhnya mengenakan gaun selutut berwarna coklat muda yang sangat simpel. Ini sama dengan gaun yang dikenakan Rara. Caca tersenyum kemudian mengenakan gaun itu.
Arah jarum jam dipergelangan Caca telah menunjukkan angka 11.25 menit. Namun, giliran Caca tampil masih cukup lama. Ini masih peserta ke 47. Caca merasa bosan. Tapi, setelah melihat wajah dingin dari kakaknya ia kembali tersenyum.
Gue gak boleh kecawain kak Rara. Ujar Caca membatin.
Tiba saatnya Caca tampil sekarang. Dipanggilnya nomor peserta Caca. Caca mencium tangan kanan Rara sembari meminta doa dari dia. Rara tersenyum datar, dipeluknya adik semata wayangnya itu.
Caca berdiri ditengah panggung cukup megah ditonton banyak orang beserta para juri. Matanya terpaku saat melihat pendukungnya dari pojok kiri gedung menyuarakan namanya. Tasya tak pernah menyangka dapat kembali menampilkan bakatnya didepan banyak orang. Tasya memberikan senyuman termanisnya. Ia memberikan kehormatan untuk semuanya.
Caca duduk di kursi piano berwarna putih. Ia menutup mata sejenak untuk berdoa pada Tuhan. Ia memencet tuts demi tuts sebuah lagu yang sangat disukainya. Lagu tempo dulu yang melekat dibenaknya. Air matanya perlahan membanjiri wajahnya yang sawo matang, wajah manisnya.
Tanpa ia sadari ternyata Rara ikut naik ke panggung. Ia mengiringi alunan indah dari piano yang Caca mainkan. Caca yang memang hafal sekali suara dari Rara. Caca memang sempat kaget namun ia kembali ke permainannya dengan senyuman manis.
Kemana akan ku cari…
Aku menangis seorang diri…
Hatiku s’lalu inginkan bertemu…
Padamu aku menangis…
Untuk Ayah tercinta,
Aku ingin menangis…
Walau air mata di pipiku...
Bunda dengarkanlah,
Aku ingin bertemu…
Walau hanya dalam mimpi...
Dengarlah, hari berganti…
Namun tiada sakit yang luluh...
Betapa aku ingin bertemu…
Untukmu, aku bernyanyi…
Caca menutup lagunya dengan tangisan pamungkasnya yang membuat orang-orang yang mendengarnya hanyut dalam suasana itu. Rara memeluk Caca erat. Tangis Rara tak kalah dengan tangis Caca. Tubuh mereka bergetar hebat, matanya membengkak, dan wajahnya memerah. Teringat masa bahagia saat dengan keluarga lengkapnya dulu.
“Aku akan selalu menjagamu, Ca. Kita harus kuat menghadapi hidup yang pedih ini,” ujar Rara lalu mengecup kening Caca. Caca mengangguk pedih.
“Makasih, Kak. Aku sayang kak Ara,” ujar Caca dipelukan Rara.
Seluruh isi gedung menepuk tangannya. Kata-kata yang mereka ucapkan terdengar seantero gedung. Teman-teman Caca bersorak mendukung Caca. Caca melepaskan pelukan kakaknya. Ia tersenyum mendengar dukungan dari teman-temannya. Caca dan Rara kembali turun ke backstage.
Egi datang dengan Dinda menemui Caca di backstage. Dinda sahabat Caca lekas memeluk Caca. Egi hanya tersenyum melihat mereka berdua. Dinda memberi semangat dihati Caca. Caca meng-iyakan sahabatnya itu. Dinda melonggarkan pelukannya.
“Kamu keren banget, Ca,” ujar Egi mengangkat kedua jempolnya.
“Makasih, ya, Gi. Ngomong-ngomong kok bisa pada kesini? Kan masih jam belajar,” kata Caca heran.
“Ada rapat guru. Jadi, kita bubar deh,” Caca hanya ber-oh ria saja.
***

Cerpen III




Andaikan, ya. Andaikan!(III)
Karya: Asri Saepul Putri

Egi menggas motornya meninggalkan sekolah. ia berniat pergi ke kampus Rara. Memang perlu nyali yang beribu dan tingkatan kesabaran yang di titik puncaknya. Egi sudah sangat matang menghadapi kerasnya Rara.
Motornya terparkir tepat di parkiran universitas terkemuka di Jakarta, bahkan Indonesia. Bangunan yang super megah dan luasnya yang tak habis dari pandangan mata yang bergerak lurus kedepan. Berbagai aktifitas di kampus itu memang tak berbeda jauh dengan perilaku anak SMA.
Egi yang memakai pakaian putih-abu dicegat oleh laki-laki berpostur tegap, usianya tampak separuh baya. Egi terhenti.
“Adek mau apa disini?” ujarnya to the point.
“Saya mau ketemu kakak saya,” ujarnya berbohong.
“Siapa nama kakakmu?” introgasinya yang tak lain satpam dari kampus yang akan dimasukinya.
“Rara Heriawan.”
“Oh, ya sudah. Saya akan mengantarmu,” Egi mengangguk sambil mengelus dada kemudian ia mengikuti langkah pak satpam.
“Ini kelasnya. Jangan berbuat onar,” pesannya lalu meninggalkan Egi.
Egi mengetuk pintu yang sebenarnya telah terbuka setengahnya. Ia berdiri dibelakang pintu.
“Permisi…,” kata Egi berkali-kali. Egi menyingkir setelah tahu akan ada yang menghampirinya.
Egi tersenyum manis, “Cari siapa, Dek?” tanyanya-seorang gadis dewasa-
“Ada kak Raranya gak?”
“Ada keperluan apa??”
“Saya temen adeknya, kak. Bisa tolong panggilin kak Raranya?” gadis itu tersenyum. Ia kembali ke kelasnya. Egi menguatkan nyalinya kemudian bolak-balik menghirup dan menghembuskan nafas.
“Egi?!” Egi yang baru sadar masih linglung. Ia celingak-celinguk. Rara yang merasa bingung menepuk pundak Egi. Egi menelan ludah.
“Siapa disana?” ujarnyaEgibergetar. Rara yang berdiri dibelakang Egi garuk kepala.
“Katanya kamu nyari saya. Ini saya Rara,” Egi tersenyum lega. Ia berbalik sambil cengar-cengir yang menurut Rara memualkan. Rara mendelik sinis. Egi terdiam.
Huhhh, jutek abis. Tapi, aku musti lakuin ini. Gak ada waktu lagi. Batin Egi beradu, ia nyaris untuk mundur sebelum perang. Namun, ia yakin. Jika dirinya mundur, sama halnya dia lelaki pengecut dan itu predikat yang dibencinya.
“Bisa kita bicara bentar ga, Kak? Ini penting.”



Egi memang telah mengenal dekat Rara sejak dirinya menginjak kelas 8 SMPsaat dirinya satu kelas dengan Caca. Mereka selalu bersama, hubungan mereka bahkan sangat dekat. Tak sedikit kabar berhembus jika keduanya menjalin hubungan khusus. Namun, mereka menanggapinya dengan santaiseolah tak ada apapun.
“Emang ada apa? Sepenting apa sih ? Bisa bicara sekarang, kan?” kata Rara seakan tak ingin bertemu dengan Egi.
“Ya udah disana aja, kak. Bisa, kan?” Egi menunjuk deretan kursi yang ada didepannya. Rara mengangguk. Mereka pun duduk disana.
Egi mengeluarkan map kertas berwarna merah dari dalam tasnya. Kemudian, ia simpan di tengah posisinya dengan Rara. Ia juga menyimpan bolpoin hitam disana. Mereka berdiam diri, tak ada yang memulai. Egi mulai bosan, ia menyodorkan bolpoin tadi ke Rara. Rara mengerutkan keningnya.
“Maksudnya apa?” tanya Rara bingung.
“Kak, bantuin saya. Ini demi adik kakak juga. Tanda tangani pernyataan ini,” Egi mengambil map lalu diberikannya kepada Rara.
Rara membaca kertas yang ada didalam map. Matanya jeli melihat satu persatu kalimat yang terdapat disana. Tampak wajahnya memerahkesal. Egi yang telah memperhitungkan resiko yang akan didapatnya sudah mengerti akan wajah dari Rara.
Rara menutup map dengan perasaan kesal dan muak. Ia melempar map itu ke wajah Egi. Egi kaget, ia mengambil map yang terjatuh didepan kakinya.
“Jangan pernah kamu ngehasut adek saya buat ikutan hal bodoh seperti itu! Saya gak suka, dan kamu gak usah berharap saya mau nandatanganin berkas lo itu,” sentak Rara sambil menunjuk-nunjuk muka Egi. Ia berniat meninggalkan Egi. Namun, tangannya ditahan seseorang. Rara melepaskan tangan itu kasar. Ia melangkah angkuh.
“Rara, kamu gak boleh kayak gitu,” ujar seseorang dari belakangnya. Rara yang sangat mengenali suara tadi beralih ke belakang.
“Tyo?” orang yang dipanggil Tyo pun menghampiri Rara. Egi masih turun nyali, ia memilih bergeming.
“Ara, kamu gak boleh kayak gitu,” kata-kata tadi terulang. Rara tak berani menyahut.
“Apa masalah kamu? Cerita sama aku,” Rara masih diam seribu bahasa.
Tyo adalah kekasih Rara yang telah menemaninya selama 15 bulan belakangan ini. Ia selalu sabar dengan sikap Rara yang keras kepala, ia percaya bahwa ini shock berat yang terjadi karena masa lalunya. Kelembutan Tyo memberikan penjelasan pada Rara jika sedang tertimpa masalah menjadi rutinitas yang tak pernah diwarnai permasalahan baru.
Tyo meyakini jika dirinya bersikap keras sama dengan Rara, hubungan mereka tidak akan berlangsung lama. Sama seperti nasib kisah cinta Rara dengan mantan-mantannya dulu. Sedikit demi sedikit, Rara dapat mengurangi keangkuhannya.
“Aku benci musik, Yo. Kamu tau itu, kan?” ujarnya kesal.
“Aku tau. Tapi, kamu harus mendengarkan penjelasan dari dia dulu. Kamu jangan dulu emosi,” Tyo mencoba memahami perasaan Rara. Ia berbicara sangat lembut.
Tyo memberikan sandi untuk Egi segera menghampirinya. Egi yang kebetulan memperhatikan mereka dari tadi lantas mengangguk dan mendekati Tyo dan Rara.
“Kamu ada perlu apa?” tanya Tyo melirik Egi.
“Saya mau minta persetujuan dari kak Rara, Kak. Saya tau kak Rara membenci hal ini. Tapi, ini demi Caca. Dia terlihat antusias dengan festival kali ini,” tutur Egi.
“Festival?” Egi mengangguk. Rara melipat tangannya.
“Kak, saya mohon. Bantu saya, saya gak punya banyak waktu. Saya hanya ingin Caca dapat mendapat hal yang dia ingini. Kali ini aja, Kak,” Egi memohon-mohon didepan mereka. Rara terlihat risi dilihat teman-temannya.
“Udah, kamu gak usah gitu. Saya nanti yang bujuk dia, sinikan saja mapnya,” Egi mamberikan map pendaftaran Caca ke Tyo.
“Makasih, Kak. Saya gak tau musti bilang gimana lagi,” Egi tersenyum penuh harapan.
“ Kapan ini musti balik ke kamu lagi?”
“Paling lambat besok pagi setelah jam 10. Kebetulan saya besok sekolah, saya perlu berkas itu kembali nanti sore.”
“Oke, nanti saya kabarin lagi,” Egi mengangguk. Mereka bertukar nomor handphone. Egi pun pamit pulang dengan perasaan sungkan kepada Rara, dan Tyo. Rara melirik Tyo dengan tajam.
“Kamu ngapain bantuin dia? Udah aku bilang, aku gak mau buat nandatangani itu,” protes Rara.
“Kamu pikir lagi hal positif dan negatifnya dong. Belajar dewasa, Ara. Nih, pikir ulang,” Tyo memberikan map ke tangan Rara lalu pergi begitu saja.
“Kamu gak ngerti. Kamu gak sayang lagi sama aku, Yo,” tetesan bening dari pelupuk matanya keluar perlahan. Tyo kembali.
“Aku menyayangimu. Aku mengertimu. Aku ingin kamu tidak phobia lagi dengan musik. Ini tidak sama dengan apa yang kau pikirkan,” Rara menggeleng. Ia berlalu.
“Rara!!!” teriak Tyo. Rara tak menghiraukannya.
Tyo sengaja tak mengejarnya. Ia mengerti bahwa Rara butuh waktu untuk sendiri. Merenungi semuanya.
***
BRAKKKK… Rara membanting pintu kamarnya emosi. Kelelahan menghadapi hidup pedih ini mengeluap begitu saja. Rara melempar map yang dipikirkannya saat ini. Ia memeluk kedua kakinya. Bibirnya ia gigitsalah satu kebiasaannya. Ia menghalau rambut hitam panjang yang menutupi wajah cantiknya.
Rara mengambil boneka lumba-lumba berwarna jingga dari samping ranjangnya. Dipeluknya erat. Boneka yang didapatnya di usianya ke 13 dari Ayahnya. Lalu, ia juga meraih kotak musik di loker yang sudah tak pernah disentuhnya lagi selama bertahun-tahun setelah masa kelamnya dulu.
Ia menyimpan boneka tadi kemudian menatap kotak musiknya. Kotak musik yang diberikan Bundanya dulu. Tangannya sudah rindu ingin membuka itu. Namun, belum terbuka. Rara tiba-tiba melempar kotak musik itu ke belakangnya. Ia mengingat kembali kepedihannya karena sebuah musik.
Lama ia terdiam menatap kotak musik lalu beralih menatap map dari Egi. Kepalanya sungguh berat. Ia pusing kalau harus terus memikirkan hal yang menurutnya kini harus di anulir.
Kata-kata Tyo tadi sangat membebani pikirannya saat ini. Ia mengingat kembali masa sesaat sebelum meninggalnya sang papa. Ingat akan pesan yang disampaikannya.
Kalian harus saling menyayangi dan melindungi. Ayah sayang Ara sama Caca.
Rara mengartikan bahwa melindungi itu melindungi Caca dari musik. Musik yang membuat dirinya dan Caca seperti sekarang ini. Hidup tanpa belaian kasih mama dan papanya. Namun, apakah kini makna yang selama ini ia tancapkan dalam dirinya sangat benarsesuaidengan amanat terakhir papanya itu.
Menyayangi. Selama ini Rara sangat menyayangi Caca sepenuh hatinya. Tapi, apa mungkin menyayangi itu dengan sebatas sikapnya selama ini. Atau justruu… menyayangi dengan mau membebaskan Caca dari kerasnya phobianya terhadap musik. Mana mungkin itu terjadi, sosok keras kepala dan berpendirian kuat sepertinya mau merelakan hal yang di anti-kannya selama ini?
Drrrtttt.. drttt.. drrtt… getaran dari ponsel Rara. Tampak pesan singkat dari Tyo.
Ara, maafin aku klo bkin kmu ksel. Aku cma pngen kmu sdikit brubh. Aku sayang kmu. Pilihlah dgn htimu. Aku yakin kmu orng bijak :)
Rara tersenyum lebar, kekasih yang sangat disayanginya mengerti keadaannya saat ini. Senyumannya  melebar seiring diketiknya pesan singkat untuk Tyo.
Makasih, Yo… kmu emng slalu buat aku kuat. Doain aku ya :)!!!
Pesan terkirim ==>
Rara membolak-balikkan map itu, bingung.
***

About Me

Foto Saya
Mahasiswi Diploma-Gizi, angkt 51 Institut Pertanian Bogor. Orisinal dr Cianjur.
Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive