Andaikan, ya. Andaikan!(III)
Karya: Asri Saepul Putri
Egi menggas motornya
meninggalkan sekolah. ia berniat pergi ke kampus Rara. Memang perlu nyali yang
beribu dan tingkatan kesabaran yang di titik puncaknya. Egi sudah sangat matang
menghadapi kerasnya Rara.
Motornya terparkir tepat
di parkiran universitas terkemuka di Jakarta, bahkan Indonesia. Bangunan yang
super megah dan luasnya yang tak habis dari pandangan mata yang bergerak lurus
kedepan. Berbagai aktifitas di kampus itu memang tak berbeda jauh dengan
perilaku anak SMA.
Egi yang memakai pakaian
putih-abu dicegat oleh laki-laki berpostur tegap, usianya tampak separuh baya.
Egi terhenti.
“Adek mau apa disini?”
ujarnya to the point.
“Saya mau ketemu kakak
saya,” ujarnya berbohong.
“Siapa nama kakakmu?”
introgasinya yang tak lain satpam dari kampus yang akan dimasukinya.
“Rara Heriawan.”
“Oh, ya sudah. Saya akan
mengantarmu,” Egi mengangguk sambil mengelus dada kemudian ia mengikuti langkah
pak satpam.
“Ini kelasnya. Jangan
berbuat onar,” pesannya lalu meninggalkan Egi.
Egi mengetuk pintu yang
sebenarnya telah terbuka setengahnya. Ia berdiri dibelakang pintu.
“Permisi…,” kata Egi
berkali-kali. Egi menyingkir setelah tahu akan ada yang menghampirinya.
Egi tersenyum manis,
“Cari siapa, Dek?” tanyanya-seorang gadis dewasa-
“Ada kak Raranya gak?”
“Ada keperluan apa??”
“Saya temen adeknya,
kak. Bisa tolong panggilin kak Raranya?” gadis itu tersenyum. Ia kembali ke
kelasnya. Egi menguatkan nyalinya kemudian bolak-balik menghirup dan
menghembuskan nafas.
“Egi?!” Egi yang baru
sadar masih linglung. Ia celingak-celinguk. Rara yang merasa bingung menepuk
pundak Egi. Egi menelan ludah.
“Siapa disana?” ujarnya─Egi─bergetar.
Rara yang berdiri dibelakang Egi garuk kepala.
“Katanya kamu nyari
saya. Ini saya Rara,” Egi tersenyum lega. Ia berbalik sambil cengar-cengir yang
menurut Rara memualkan. Rara mendelik sinis. Egi terdiam.
Huhhh, jutek abis. Tapi,
aku musti lakuin ini. Gak ada waktu lagi. Batin
Egi beradu, ia nyaris untuk mundur sebelum perang. Namun, ia yakin. Jika
dirinya mundur, sama halnya dia lelaki pengecut dan itu predikat yang
dibencinya.
“Bisa kita bicara bentar
ga, Kak? Ini penting.”
Egi memang telah
mengenal dekat Rara sejak dirinya menginjak kelas 8 SMP─saat
dirinya satu kelas dengan Caca. Mereka selalu bersama, hubungan mereka bahkan
sangat dekat. Tak sedikit kabar berhembus jika keduanya menjalin hubungan khusus.
Namun, mereka menanggapinya dengan santai─seolah tak ada apapun.
“Emang ada apa?
Sepenting apa sih ? Bisa bicara sekarang, kan?” kata Rara seakan tak ingin
bertemu dengan Egi.
“Ya udah disana aja,
kak. Bisa, kan?” Egi menunjuk deretan kursi yang ada didepannya. Rara
mengangguk. Mereka pun duduk disana.
Egi mengeluarkan map
kertas berwarna merah dari dalam tasnya. Kemudian, ia simpan di tengah
posisinya dengan Rara. Ia juga menyimpan bolpoin hitam disana. Mereka berdiam
diri, tak ada yang memulai. Egi mulai bosan, ia menyodorkan bolpoin tadi ke
Rara. Rara mengerutkan keningnya.
“Maksudnya apa?” tanya
Rara bingung.
“Kak, bantuin saya. Ini
demi adik kakak juga. Tanda tangani pernyataan ini,” Egi mengambil map lalu
diberikannya kepada Rara.
Rara membaca kertas yang
ada didalam map. Matanya jeli melihat satu persatu kalimat yang terdapat
disana. Tampak wajahnya memerah─kesal. Egi yang telah
memperhitungkan resiko yang akan didapatnya sudah mengerti akan wajah dari
Rara.
Rara menutup map dengan
perasaan kesal dan muak. Ia melempar map itu ke wajah Egi. Egi kaget, ia
mengambil map yang terjatuh didepan kakinya.
“Jangan pernah kamu
ngehasut adek saya buat ikutan hal bodoh seperti itu! Saya gak suka, dan kamu
gak usah berharap saya mau nandatanganin berkas lo itu,” sentak Rara sambil
menunjuk-nunjuk muka Egi. Ia berniat meninggalkan Egi. Namun, tangannya ditahan
seseorang. Rara melepaskan tangan itu kasar. Ia melangkah angkuh.
“Rara, kamu gak boleh
kayak gitu,” ujar seseorang dari belakangnya. Rara yang sangat mengenali suara
tadi beralih ke belakang.
“Tyo?” orang yang
dipanggil Tyo pun menghampiri Rara. Egi masih turun nyali, ia memilih
bergeming.
“Ara, kamu gak boleh
kayak gitu,” kata-kata tadi terulang. Rara tak berani menyahut.
“Apa masalah kamu?
Cerita sama aku,” Rara masih diam seribu bahasa.
Tyo adalah kekasih Rara
yang telah menemaninya selama 15 bulan belakangan ini. Ia selalu sabar dengan
sikap Rara yang keras kepala, ia percaya bahwa ini shock berat
yang terjadi karena masa lalunya. Kelembutan Tyo memberikan penjelasan pada
Rara jika sedang tertimpa masalah menjadi rutinitas yang tak pernah diwarnai
permasalahan baru.
Tyo meyakini jika
dirinya bersikap keras sama dengan Rara, hubungan mereka tidak akan berlangsung
lama. Sama seperti nasib kisah cinta Rara dengan mantan-mantannya dulu. Sedikit
demi sedikit, Rara dapat mengurangi keangkuhannya.
“Aku benci musik, Yo.
Kamu tau itu, kan?” ujarnya kesal.
“Aku tau. Tapi, kamu
harus mendengarkan penjelasan dari dia dulu. Kamu jangan dulu emosi,” Tyo
mencoba memahami perasaan Rara. Ia berbicara sangat lembut.
Tyo memberikan sandi
untuk Egi segera menghampirinya. Egi yang kebetulan memperhatikan mereka dari
tadi lantas mengangguk dan mendekati Tyo dan Rara.
“Kamu ada perlu apa?”
tanya Tyo melirik Egi.
“Saya mau minta
persetujuan dari kak Rara, Kak. Saya tau kak Rara membenci hal ini. Tapi, ini
demi Caca. Dia terlihat antusias dengan festival kali ini,” tutur Egi.
“Festival?” Egi
mengangguk. Rara melipat tangannya.
“Kak, saya mohon. Bantu
saya, saya gak punya banyak waktu. Saya hanya ingin Caca dapat mendapat hal
yang dia ingini. Kali ini aja, Kak,” Egi memohon-mohon didepan mereka. Rara
terlihat risi dilihat teman-temannya.
“Udah, kamu gak usah
gitu. Saya nanti yang bujuk dia, sinikan saja mapnya,” Egi mamberikan map
pendaftaran Caca ke Tyo.
“Makasih, Kak. Saya gak
tau musti bilang gimana lagi,” Egi tersenyum penuh harapan.
“ Kapan ini musti balik
ke kamu lagi?”
“Paling lambat besok
pagi setelah jam 10. Kebetulan saya besok sekolah, saya perlu berkas itu
kembali nanti sore.”
“Oke, nanti saya kabarin
lagi,” Egi mengangguk. Mereka bertukar nomor handphone. Egi pun
pamit pulang dengan perasaan sungkan kepada Rara, dan Tyo. Rara melirik Tyo
dengan tajam.
“Kamu ngapain bantuin
dia? Udah aku bilang, aku gak mau buat nandatangani itu,” protes Rara.
“Kamu pikir lagi hal
positif dan negatifnya dong. Belajar dewasa, Ara. Nih, pikir ulang,” Tyo
memberikan map ke tangan Rara lalu pergi begitu saja.
“Kamu gak ngerti. Kamu
gak sayang lagi sama aku, Yo,” tetesan bening dari pelupuk matanya keluar
perlahan. Tyo kembali.
“Aku menyayangimu. Aku
mengertimu. Aku ingin kamu tidak phobia lagi dengan musik. Ini tidak sama
dengan apa yang kau pikirkan,” Rara menggeleng. Ia berlalu.
“Rara!!!” teriak Tyo.
Rara tak menghiraukannya.
Tyo sengaja tak
mengejarnya. Ia mengerti bahwa Rara butuh waktu untuk sendiri. Merenungi
semuanya.
***
BRAKKKK… Rara membanting
pintu kamarnya emosi. Kelelahan menghadapi hidup pedih ini mengeluap begitu
saja. Rara melempar map yang dipikirkannya saat ini. Ia memeluk kedua kakinya.
Bibirnya ia gigit─salah satu kebiasaannya. Ia menghalau rambut hitam
panjang yang menutupi wajah cantiknya.
Rara mengambil boneka
lumba-lumba berwarna jingga dari samping ranjangnya. Dipeluknya erat. Boneka
yang didapatnya di usianya ke 13 dari Ayahnya. Lalu, ia juga meraih kotak
musik di loker yang sudah tak pernah disentuhnya lagi selama bertahun-tahun
setelah masa kelamnya dulu.
Ia menyimpan boneka tadi
kemudian menatap kotak musiknya. Kotak musik yang diberikan Bundanya dulu.
Tangannya sudah rindu ingin membuka itu. Namun, belum terbuka. Rara tiba-tiba
melempar kotak musik itu ke belakangnya. Ia mengingat kembali kepedihannya
karena sebuah musik.
Lama ia terdiam menatap
kotak musik lalu beralih menatap map dari Egi. Kepalanya sungguh berat. Ia
pusing kalau harus terus memikirkan hal yang menurutnya kini harus di anulir.
Kata-kata Tyo tadi
sangat membebani pikirannya saat ini. Ia mengingat kembali masa sesaat sebelum
meninggalnya sang papa. Ingat akan pesan yang disampaikannya.
Kalian harus saling
menyayangi dan melindungi. Ayah sayang Ara sama Caca.
Rara mengartikan bahwa
melindungi itu melindungi Caca dari musik. Musik yang membuat dirinya dan Caca
seperti sekarang ini. Hidup tanpa belaian kasih mama dan papanya. Namun, apakah
kini makna yang selama ini ia tancapkan dalam dirinya sangat benar─sesuai─dengan
amanat terakhir papanya itu.
Menyayangi. Selama ini
Rara sangat menyayangi Caca sepenuh hatinya. Tapi, apa mungkin menyayangi itu
dengan sebatas sikapnya selama ini. Atau justruu… menyayangi dengan mau
membebaskan Caca dari kerasnya phobianya terhadap musik. Mana mungkin itu
terjadi, sosok keras kepala dan berpendirian kuat sepertinya mau merelakan hal
yang di anti-kannya selama ini?
Drrrtttt.. drttt..
drrtt… getaran dari ponsel Rara. Tampak pesan singkat dari Tyo.
Ara, maafin aku klo bkin
kmu ksel. Aku cma pngen kmu sdikit brubh. Aku sayang kmu. Pilihlah dgn htimu.
Aku yakin kmu orng bijak :)
Rara tersenyum lebar,
kekasih yang sangat disayanginya mengerti keadaannya saat ini.
Senyumannya melebar seiring diketiknya pesan singkat untuk Tyo.
Makasih, Yo… kmu emng
slalu buat aku kuat. Doain aku ya :)!!!
Pesan terkirim ==>
Rara membolak-balikkan
map itu, bingung.
***