Our amazing new site will launch in

Kamis, 13 September 2012

Cerpen IV



Andaikan, ya. Andaikan!(IV)
Karya: Asri Saepul Putri

Seminggu berlalu, Caca tampak sudah sedikit merelakan ketidakikutsertaannya pada festival kali ini. Hari ini memang hari berlangsungnya festival tahunan di ibu kota. Festival yang sangat didambakannya selama ini. Caca melangkah tanpa ada ekspresi. Ia kemudian duduk didepan kakaknyadi meja maka-. Sempat ia bersapa ria dengan sang kakak lalu kembali beralih ke sarapannya.
Setelah itu, ia berangkat ke sekolah dengan sopir pribadi di rumahnya. Caca memang masih berharap suatu keajaiban dapat terjadi untuknya. Tapi, mana mungkin. Pendaftaran saja sudah di tutup 6 hari yang lalu. Ini mustahil, Caca harus segera melepaskan pengharapannya itu.
Caca duduk di kursi tepat depan meja gurunya. Ia mengambil buku catatan kecil bercover kartun elmo dengan sebuah pulpen yang sejenis. Ditulisnya semua keinginannya saat ini. Butir-butir bening yang telah dibendungnya sedari tadi, kita keluar di sudut kiri dan kanan matanya.
Seseorang mengelus punggung Caca. Caca menghapus air matanya dan bersikap seperti biasa. Orang tadi ternyata tak lain yaitu Egi. Dirinya berdiri di hadapannya.
“Kamu baik-baik aja, kan? Maafin aku, ya. Aku gak maksud,” Egi tahu bagaimana isi hati Caca saat ini. Caca tersenyum kecut.
“Udahlah, aku gak papa kok. Kamu tenang aja, lagian emang bukan waktunya kali. Percaya deh sama kata-kata kamu dulu. Semuanya juga bakal indah kalo udah waktunya, iya kan?” Egi mengangguk.
“Kamu jangan kayak gini lagi, ya. Mending kamu balik ke meja kamu. Udah mau bel tuh,” sambung Caca meyakinkan. Egi pun kembali ke bangkunya.
Pelajaran pun berlangsung dua jam. Saat ini memang waktu jeda, Caca dan teman-temannya pun sedang asyik bersenda gurau. Sekedar menghabiskan waktu kosong setelah mempersiapkan untuk pelajaran selanjutnya.
Tak lama, masuklah guru kimia kedalam kelas. Siswa/i pun kembali duduk rapisiap belajar. Beliau menyapa mereka dengan sangat hangat.
Tokk… tokk… tokk… suara ketukan pintu terdengar jelas karena keadaan kelas yang memang sangat tertib mengikuti pelajaran. Mereka hanya sesekali berisik jika terjadi kekosongan jam, jeda pelajaran, dan diskusi, atau pun sejenisnya.
Bu Ira guru kimia Caca membukakan pintu. Caca yang sedang sibuk berkutat dengan buku soalnya tak sedikitpun mengalihkan pandangannya. Egi yang menyadari sekaligus mengenal siapa yang datang sontak bingung kenapa dia datang?
   Bu Ira tampak berbincang dengan orang itu untuk beberapa menit yang kemudian memanggil Caca. Caca linglung, ia masih tak sadar siapa yang memanggilnya. Ia celingak-celinguk. Teman-temannya menahan tawa melihat sikap Caca yang seperti orang kebingungan mencari alamat.
Pusat pandangan matanya terhenti tepat di pintu kelasnya, didepan Bu Ira. Kak Rara, pekiknya dalam hati. Ini sungguh aneh, untuk apa Rara ke sekolah di jam pelajaran seperti sekarang ini.
Perempuan yang bersama Bu Ira masuk ke kelas. Caca menelan ludah masih tak percaya. Egi mengerutkan keningnya. Perempuan itu duduk di kursi tamu meja guru.
“Desya Heriawan, sini!!” panggil Bu Ira. Caca bangun dari duduknya. Ia menghampiri meja guru
“Kalian jangan berisik. Ibu mau berbicara dulu, kerjakan soalnya!”
“Baik, Bu,” ujar murid-murid. Mereka memang sangat menuruti apa kata gurunya.
Bu Ira menjelaskan kedatangan Rara menemuinya saat ini. Senyuman Caca merekah, ia tak menyangka Rara mau mengizinkannya mengikuti festival kali ini. Tanpa aba-aba, ia memeluk Rara hangat. Ucapan terima kasih tak lupa dikatakannya.
Caca pun saat ini juga harus segera pergi ke tempat festival itu dengan kakaknya karena memang tak ada waktu lagi. Egi yang mendengar percakapan mereka tersenyum tulus. Dihatinya ia mendukung sahabatnya itu. Doa-doa pun tak luput ia berikan.
***
Caca telah bertanya sebelumnya dengan sikap Rara yang menurutnya sangat berbeda. Ini karena ketidaksetujuan Rara jika Caca mendalami sesuatu berbau musik. Namun, Caca hanya diam. Tyo yang menemani mereka tak berani berkata apa-apa. Biarlah Rara yang menjelaskannya meski harus nanti.
Caca yang mendapat giliran nomor ke 53 harus menunggu lama gilirannya tampil. Rara menyuruhnya mengenakan gaun selutut berwarna coklat muda yang sangat simpel. Ini sama dengan gaun yang dikenakan Rara. Caca tersenyum kemudian mengenakan gaun itu.
Arah jarum jam dipergelangan Caca telah menunjukkan angka 11.25 menit. Namun, giliran Caca tampil masih cukup lama. Ini masih peserta ke 47. Caca merasa bosan. Tapi, setelah melihat wajah dingin dari kakaknya ia kembali tersenyum.
Gue gak boleh kecawain kak Rara. Ujar Caca membatin.
Tiba saatnya Caca tampil sekarang. Dipanggilnya nomor peserta Caca. Caca mencium tangan kanan Rara sembari meminta doa dari dia. Rara tersenyum datar, dipeluknya adik semata wayangnya itu.
Caca berdiri ditengah panggung cukup megah ditonton banyak orang beserta para juri. Matanya terpaku saat melihat pendukungnya dari pojok kiri gedung menyuarakan namanya. Tasya tak pernah menyangka dapat kembali menampilkan bakatnya didepan banyak orang. Tasya memberikan senyuman termanisnya. Ia memberikan kehormatan untuk semuanya.
Caca duduk di kursi piano berwarna putih. Ia menutup mata sejenak untuk berdoa pada Tuhan. Ia memencet tuts demi tuts sebuah lagu yang sangat disukainya. Lagu tempo dulu yang melekat dibenaknya. Air matanya perlahan membanjiri wajahnya yang sawo matang, wajah manisnya.
Tanpa ia sadari ternyata Rara ikut naik ke panggung. Ia mengiringi alunan indah dari piano yang Caca mainkan. Caca yang memang hafal sekali suara dari Rara. Caca memang sempat kaget namun ia kembali ke permainannya dengan senyuman manis.
Kemana akan ku cari…
Aku menangis seorang diri…
Hatiku s’lalu inginkan bertemu…
Padamu aku menangis…
Untuk Ayah tercinta,
Aku ingin menangis…
Walau air mata di pipiku...
Bunda dengarkanlah,
Aku ingin bertemu…
Walau hanya dalam mimpi...
Dengarlah, hari berganti…
Namun tiada sakit yang luluh...
Betapa aku ingin bertemu…
Untukmu, aku bernyanyi…
Caca menutup lagunya dengan tangisan pamungkasnya yang membuat orang-orang yang mendengarnya hanyut dalam suasana itu. Rara memeluk Caca erat. Tangis Rara tak kalah dengan tangis Caca. Tubuh mereka bergetar hebat, matanya membengkak, dan wajahnya memerah. Teringat masa bahagia saat dengan keluarga lengkapnya dulu.
“Aku akan selalu menjagamu, Ca. Kita harus kuat menghadapi hidup yang pedih ini,” ujar Rara lalu mengecup kening Caca. Caca mengangguk pedih.
“Makasih, Kak. Aku sayang kak Ara,” ujar Caca dipelukan Rara.
Seluruh isi gedung menepuk tangannya. Kata-kata yang mereka ucapkan terdengar seantero gedung. Teman-teman Caca bersorak mendukung Caca. Caca melepaskan pelukan kakaknya. Ia tersenyum mendengar dukungan dari teman-temannya. Caca dan Rara kembali turun ke backstage.
Egi datang dengan Dinda menemui Caca di backstage. Dinda sahabat Caca lekas memeluk Caca. Egi hanya tersenyum melihat mereka berdua. Dinda memberi semangat dihati Caca. Caca meng-iyakan sahabatnya itu. Dinda melonggarkan pelukannya.
“Kamu keren banget, Ca,” ujar Egi mengangkat kedua jempolnya.
“Makasih, ya, Gi. Ngomong-ngomong kok bisa pada kesini? Kan masih jam belajar,” kata Caca heran.
“Ada rapat guru. Jadi, kita bubar deh,” Caca hanya ber-oh ria saja.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About Me

Foto Saya
Mahasiswi Diploma-Gizi, angkt 51 Institut Pertanian Bogor. Orisinal dr Cianjur.
Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive