Andaikan, ya. Andaikan!(IV)
Karya: Asri Saepul Putri
Seminggu berlalu, Caca tampak sudah sedikit merelakan
ketidakikutsertaannya pada festival kali ini. Hari ini memang hari
berlangsungnya festival tahunan di ibu kota. Festival yang sangat didambakannya
selama ini. Caca melangkah tanpa ada ekspresi. Ia kemudian duduk didepan
kakaknya─di meja maka-. Sempat ia bersapa ria dengan sang kakak lalu
kembali beralih ke sarapannya.
Setelah
itu, ia berangkat ke sekolah dengan sopir pribadi di rumahnya. Caca memang
masih berharap suatu keajaiban dapat terjadi untuknya. Tapi, mana mungkin.
Pendaftaran saja sudah di tutup 6 hari yang lalu. Ini mustahil, Caca harus
segera melepaskan pengharapannya itu.
Caca
duduk di kursi tepat depan meja gurunya. Ia mengambil buku catatan kecil
bercover kartun elmo dengan sebuah pulpen yang sejenis. Ditulisnya semua
keinginannya saat ini. Butir-butir bening yang telah dibendungnya sedari tadi,
kita keluar di sudut kiri dan kanan matanya.
Seseorang
mengelus punggung Caca. Caca menghapus air matanya dan bersikap seperti biasa.
Orang tadi ternyata tak lain yaitu Egi. Dirinya berdiri di hadapannya.
“Kamu
baik-baik aja, kan? Maafin aku, ya. Aku gak maksud,” Egi tahu bagaimana isi
hati Caca saat ini. Caca tersenyum kecut.
“Udahlah,
aku gak papa kok. Kamu tenang aja, lagian emang bukan waktunya kali. Percaya
deh sama kata-kata kamu dulu. Semuanya juga bakal indah kalo udah waktunya, iya
kan?” Egi mengangguk.
“Kamu
jangan kayak gini lagi, ya. Mending kamu balik ke meja kamu. Udah mau bel tuh,”
sambung Caca meyakinkan. Egi pun kembali ke bangkunya.
Pelajaran
pun berlangsung dua jam. Saat ini memang waktu jeda, Caca dan teman-temannya
pun sedang asyik bersenda gurau. Sekedar menghabiskan waktu kosong setelah
mempersiapkan untuk pelajaran selanjutnya.
Tak
lama, masuklah guru kimia kedalam kelas. Siswa/i pun kembali duduk rapi─siap
belajar. Beliau menyapa mereka dengan sangat hangat.
Tokk…
tokk… tokk… suara ketukan pintu terdengar jelas karena keadaan kelas yang
memang sangat tertib mengikuti pelajaran. Mereka hanya sesekali berisik jika
terjadi kekosongan jam, jeda pelajaran, dan diskusi, atau pun sejenisnya.
Bu Ira
guru kimia Caca membukakan pintu. Caca yang sedang sibuk berkutat dengan buku
soalnya tak sedikitpun mengalihkan pandangannya. Egi yang menyadari sekaligus
mengenal siapa yang datang sontak bingung kenapa dia datang?
Bu Ira tampak berbincang dengan orang
itu untuk beberapa menit yang kemudian memanggil Caca. Caca linglung, ia masih
tak sadar siapa yang memanggilnya. Ia celingak-celinguk. Teman-temannya menahan
tawa melihat sikap Caca yang seperti orang kebingungan mencari alamat.
Pusat
pandangan matanya terhenti tepat di pintu kelasnya, didepan Bu Ira. Kak Rara,
pekiknya dalam hati. Ini sungguh aneh, untuk apa Rara ke sekolah di jam
pelajaran seperti sekarang ini.
Perempuan
yang bersama Bu Ira masuk ke kelas. Caca menelan ludah masih tak percaya. Egi
mengerutkan keningnya. Perempuan itu duduk di kursi tamu meja guru.
“Desya
Heriawan, sini!!” panggil Bu Ira. Caca bangun dari duduknya. Ia menghampiri
meja guru
“Kalian
jangan berisik. Ibu mau berbicara dulu, kerjakan soalnya!”
“Baik,
Bu,” ujar murid-murid. Mereka memang sangat menuruti apa kata gurunya.
Bu Ira
menjelaskan kedatangan Rara menemuinya saat ini. Senyuman Caca merekah, ia tak
menyangka Rara mau mengizinkannya mengikuti festival kali ini. Tanpa aba-aba,
ia memeluk Rara hangat. Ucapan terima kasih tak lupa dikatakannya.
Caca
pun saat ini juga harus segera pergi ke tempat festival itu dengan kakaknya
karena memang tak ada waktu lagi. Egi yang mendengar percakapan mereka
tersenyum tulus. Dihatinya ia mendukung sahabatnya itu. Doa-doa pun tak luput
ia berikan.
***
Caca
telah bertanya sebelumnya dengan sikap Rara yang menurutnya sangat berbeda. Ini
karena ketidaksetujuan Rara jika Caca mendalami sesuatu berbau musik. Namun,
Caca hanya diam. Tyo yang menemani mereka tak berani berkata apa-apa. Biarlah
Rara yang menjelaskannya meski harus nanti.
Caca
yang mendapat giliran nomor ke 53 harus menunggu lama gilirannya tampil. Rara
menyuruhnya mengenakan gaun selutut berwarna coklat muda yang sangat simpel.
Ini sama dengan gaun yang dikenakan Rara. Caca tersenyum kemudian mengenakan
gaun itu.
Arah
jarum jam dipergelangan Caca telah menunjukkan angka 11.25 menit. Namun,
giliran Caca tampil masih cukup lama. Ini masih peserta ke 47. Caca merasa
bosan. Tapi, setelah melihat wajah dingin dari kakaknya ia kembali tersenyum.
Gue
gak boleh kecawain kak Rara. Ujar Caca membatin.
Tiba
saatnya Caca tampil sekarang. Dipanggilnya nomor peserta Caca. Caca mencium
tangan kanan Rara sembari meminta doa dari dia. Rara tersenyum datar,
dipeluknya adik semata wayangnya itu.
Caca
berdiri ditengah panggung cukup megah ditonton banyak orang beserta para juri.
Matanya terpaku saat melihat pendukungnya dari pojok kiri gedung menyuarakan
namanya. Tasya tak pernah menyangka dapat kembali menampilkan bakatnya didepan
banyak orang. Tasya memberikan senyuman termanisnya. Ia memberikan kehormatan
untuk semuanya.
Caca
duduk di kursi piano berwarna putih. Ia menutup mata sejenak untuk berdoa pada
Tuhan. Ia memencet tuts demi tuts sebuah lagu yang sangat disukainya. Lagu
tempo dulu yang melekat dibenaknya. Air matanya perlahan membanjiri wajahnya
yang sawo matang, wajah manisnya.
Tanpa
ia sadari ternyata Rara ikut naik ke panggung. Ia mengiringi alunan indah dari
piano yang Caca mainkan. Caca yang memang hafal sekali suara dari Rara. Caca
memang sempat kaget namun ia kembali ke permainannya dengan senyuman manis.
Kemana
akan ku cari…
Aku
menangis seorang diri…
Hatiku
s’lalu inginkan bertemu…
Padamu
aku menangis…
Untuk
Ayah tercinta,
Aku
ingin menangis…
Walau
air mata di pipiku...
Bunda
dengarkanlah,
Aku
ingin bertemu…
Walau
hanya dalam mimpi...
Dengarlah,
hari berganti…
Namun
tiada sakit yang luluh...
Betapa
aku ingin bertemu…
Untukmu,
aku bernyanyi…
Caca
menutup lagunya dengan tangisan pamungkasnya yang membuat orang-orang yang
mendengarnya hanyut dalam suasana itu. Rara memeluk Caca erat. Tangis Rara tak
kalah dengan tangis Caca. Tubuh mereka bergetar hebat, matanya membengkak, dan
wajahnya memerah. Teringat masa bahagia saat dengan keluarga lengkapnya dulu.
“Aku
akan selalu menjagamu, Ca. Kita harus kuat menghadapi hidup yang pedih ini,”
ujar Rara lalu mengecup kening Caca. Caca mengangguk pedih.
“Makasih,
Kak. Aku sayang kak Ara,” ujar Caca dipelukan Rara.
Seluruh
isi gedung menepuk tangannya. Kata-kata yang mereka ucapkan terdengar seantero
gedung. Teman-teman Caca bersorak mendukung Caca. Caca melepaskan pelukan
kakaknya. Ia tersenyum mendengar dukungan dari teman-temannya. Caca dan Rara
kembali turun ke backstage.
Egi
datang dengan Dinda menemui Caca di backstage. Dinda sahabat Caca lekas memeluk Caca.
Egi hanya tersenyum melihat mereka berdua. Dinda memberi semangat dihati Caca.
Caca meng-iyakan sahabatnya itu. Dinda melonggarkan pelukannya.
“Kamu
keren banget, Ca,” ujar Egi mengangkat kedua jempolnya.
“Makasih,
ya, Gi. Ngomong-ngomong kok bisa pada kesini? Kan masih jam belajar,” kata Caca
heran.
“Ada
rapat guru. Jadi, kita bubar deh,” Caca hanya ber-oh ria saja.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar