Andaikan,
ya. Andaikan!(II)
Karya:
Asri Saepul Putri
Esoknya, di waktu jam
kerja. Caca, Rara, Pak Deni, dan tentunya jenazah dari Bu Rhena beserta
keluarga segera take-off. Meski awalnya Rara menolak
karena masih trauma dengan pesawat.
Setiba di Jakarta.
Bandara dipenuhi dengan puluhan wartawan yang seperti ingin tahu apa yang
terjadi dengan keluarga Pak Deni─si
komponis besar. Keluarga mereka masih menghindar dari sorotan kamera. Mereka
ingin segera membawa Pak Deni ke rumah sakit dan Bu Rhena di ke rumah duka-kan.
Pak Deni di rumah sakit
ditemani adik semata wayangnya beserta istrinya. Sedangkan Caca dan Rara
mengantar Sang Bunda untuk kembali ke rumah mereka. Jenazah Bu Rhena
terbujur kaku ditengah rumah. Jenazah Bu Rhena yang akan segera dikebumikan
sore nanti diwarnai isak tangis yang tak berhenti. Baik dari keluarga maupun
saudara dan sahabat-sahabat dekat keluarganya. Semua pelayad memberikan
dukungan penuh untuk keluarga yang ditinggalkan terlebih pada Caca dan Rara
yang masih belia.
Buliran benda bening
menyeruak dari pojok mata mereka yang menyaksikan prosesi pemakaman sang
penyanyi kontemporer itu. Rara sangat dekat dengan sang mama. Inilah yang
membuat dia lebih tak rela berbeda dengan Caca. Ia tampak lebih tegar meski air
mata terus saja menemaninya.
Setelah pemakaman usai,
Caca segera menemui Sang Ayah dengan anak dari kakak Bundanya.
Dia Naira. Usianya memang sudah 18 tahun. Tak aneh ia sudah memiliki sebuah
mobil Jazz berwarna biru muda. Ini membuat Caca diantar olehnya. Rara sengaja
tidak ikut kali ini, kerabat dekat keluarganya merasa Rara belum bisa untuk
lebih tenang.
Caca memeluk erat tubuh
Ayahnya. Ayahnya terdiam tak merespon keluh kesah Caca. Caca merengek manja
ingin Ayahnya merespon.
Tiga hari berlalu, Pak
Deni masih tak sadarkan diri. Pak Deni ditemani kedua putrinya─Rara
dan Caca. Sepulang sekolah, mereka pulang bersama. Mereka masih setia menunggu
kabar baik mengenai Ayahnya.
Tiba-tiba, Pak Deni
membuka matanya. Caca dan Rara yang menyadari itu seraya tersenyum manis
menatap Ayahnya. Mata mereka berkaca-kaca.
“Ayah…,” ujar mereka
bersamaan. Pak Deni tersenyum kecut.
“Kalian harus saling
menyayangi dan melindungi. Ayah sayang Ara sama Caca,” ujarnya lemah.
Mereka manggut-manggut. Caca tersenyum penuh keraguan-ragu dengan respon
Ayahnya.
Pak Deni pun menutup
kembali matanya.
Ngengggggg… suara
nyaring keluar dari alat pendeteksi jantung Pak Deni. Caca dan Rara seketika
panik. Refleks Caca berlari keluar ruangan dan kembali membawa dokter dan
suster yang menangani Ayahnya.
Rara menggigit bawah
bibirnya seketika melihat kondisi Ayahnya yang sedang diperiksa dokter. Ia
memeluk Caca hangat. Caca terisak dipelukan Rara.
Dokter tiba-tiba menutup
tubuh Pak Deni keseluruhan. Caca mengerti maksud dokter lantas menghampiri
dokter. Sedangkan Rara mengangga. Kejadian buruk itu kembali. Kali ini Ayahnya
yang harus pergi. Caca memeluk erat Ayahnya yang telah tiada. Rasa tak
kuasa dengan semuanya ini membuatnya kalut. Ia berbicara sendiri. Rara
menghampiri Caca, memeluk adiknya.
Caca menggeleng keras.
Pukulan terbesar mendatangi keluarganya saat itu. Kini, Caca dan Rara telah
yatim piatu. Dan, ini tidak ingin ia rasakan. Apalagi disaat kondisi Caca dan
Rara masih belum bisa menjalani hidup mereka berdua saja. Mungkin hanya
ditemani pembantu, dan pegawai lainnya.
Pak Deni dipulangkan ke
rumah keluarganya. Untuk kedua kalinya keluarga mereka tertimpa cobaan yang
sama. Belasan rangkaian bunga kembali tersusun rapi di halaman megah rumah
keluarga Heriawan.
Pemakaman telah selesai.
Kini tinggal Caca dan Rara yang masih ada disamping makam Pak Deni yang tepat
disamping kanan makam Bu Rhena, istrinya. Memang rasanya ini tidak adil untuk
mereka. Makam mamanya saja masih basah, sekarang harus disusul oleh papanya.
Air mata belum kering, malah tambah lembap.
Bola mata Rara
bolak-balik memandangi nisan Bunda dan Ayahnya. Terpancar raut
dendam didalam hatinya. Ia kemudian berdiri tegap. Caca menyeka air matanya dan
ikut berdiri menyamai posisi Rara.
“Ca, mulai saat ini kamu
dan kakak jangan pernah dekat dengan hal yang berhubungan dengan MUSIK lagi.
Kakak gak suka,” ujarnya keras. Ia tampak kecewa dengan semuanya ini.
“Tapi, kak. Kita hidup
di lingkungan musik. Aku gak bisa. Aku cinta musik.”
“Denger ya. Musik bagian
dari semua masalah kita, Ca,” katanya keras kepala.
“Kak, kakak tau kan?
Kita harus mengurusi studio rekaman Bunda dan Ayah. Kursusan musik Ayah. Dan,…”
“Cukup. Kakak bilang
enggak ya enggak. Kita bisa hidup lewat beberapa butik dan salon milik Bunda.
Dan kebun strawberry kita di puncak,” Caca menunduk.
Caca hapal betul sikap
kakaknya itu. Sama dengan sikap Ayahnya. Ia menghela nafas panjang menerima
dengan pasrah apa yang dikatakan Rara. Rara tersenyum kemenangan, ia memeluk
Caca.
“Kakak cuma mau menuhin
semua kemauan Ayah. Ayah mau kita baik-baik aja kan?” Tasya mengagguk lesu.
***
Ya, itulah yang terjadi.
Memang ini tidak adil untuk Caca. Hingga kini, ia diam-diam masih mengunjungi
kursusan dan studio rekaman milik orangtuanya yang saat ini dipegang oleh
sepupunya, Naira. Rara memang tak pernah secara langsung menyakiti fisiknya.
Namun, ini beban mental untuknya. Ia ingin Rara kembali meyakini bahwa musik
tidak sejahat yang ada dipikirannya.
Harapan mungkin hanya
setitik debu. Namun, Caca yakin. Suatu hari nanti Rara akan mengerti dan
memahami bahwa musik memang layak diminati.
“Bunda… Ayah…,”
teriaknya mengeluarkan segala kerinduannya. Ia memeluk foto keluarganya lalu
dipeluknya erat. Caca menatap foto itu lekat-lekat.
“Andai mama sama papa
masih ada. Mungkin kak Rara tidak akan seperti ini. Bahkan, bukan hanya mungkin
tapi, pasti. Aku gak tau apa yang musti aku perbuat lagi,” Caca menitikkan air
matanya di atas sebingkai foto keluarga yang tampak berbahagia.
I have a dream.. a song
to sing.. to help me go..
Caca menarik ponselnya.
Tertera nama Egi disana. Caca pun memencet tombol ok.
Egi mengabarkan bahwa
akan ada festival musik se-ibukota. Egi memang sangat mendukung bakat Caca
bermusik. Setiap ada lomba tentang musik. Caca selalu dikabarinya. Caca selalu
enggan untuk mengikutinya. Jawabannya juga hanya nggak bisa.
Namun, kali ini berbeda.
Ia ingin kembali bermusik. Ia yakin dirinya harus berusaha bukan hanya berdiam
menunggu waktu yang membantunya.
“Haloo, Ca. Kamu masih
disana kan? Jadi mau gak? Nanti aku bantuin deh. Aku daftarin sekalian,” untuk
kesekian kalinya kata-kata itu keluar dari ponsel Caca. Caca bergeming.
“Iya, aku mau. Bantuin
aku ya, Gi,” ujarnya yakin.
Caca pun menutup
perbincangannya. Ia yakin semuanya akan baik-baik saja. Ia menghapus air
matanya dan kembali meraih foto tadi.
“Doain Caca, ya, Bunda,
Ayah.”
Caca mengelus lembut
kaca yang melindungi fotonya. Ia tersenyum manis.
***
Pagi ini, Caca berlari
cepat menuruni satu persatu anak tangga. Caca tampak semangat hari ini. Ia
duduk dengan senyum khasnya. Rara yang ada depannya tersenyum bahagia. Caca
mengoles blueberry jam ke roti pandan miliknya. Memang terasa
aneh blueberry jam dengan roti pandan. Namun, inilah kebiasaan
Caca. Rara hanya menggeleng melihat Caca.
“Kenapa kak? Nge fans?”
Caca cekikikan lucu. Rara ilfeel.
“Makan yang bener. Bukan
cekikikan gak jelas gitu,” Rara kembali ke makanannya.
“Iya, masih pagi, Kak.
Jangan ngomel-ngomel mulu, entar cepet tua loh,” ujarnya disela melahap
rotinya.
“Caca…,” geram Rara.
Caca cengar-cengir.
“Caca duluan, ya mbak. Bye…,”
Caca mencium pipi kanan Rara. Ia pun ngacir keluar rumah. Rara geleng-geleng.
“Mbak, mbak, di kata
tukang jamu apa?” dumelnya sambil menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam
mulutnya.
***
Caca berlari secepat
jatuhan air terjun ke aliran sungai. Ia bolak-balik mencari sahabat dekatnya.
Semangatnya semakin menjadi-jadi seketika menemukan orang yang dicarinya. Caca
berdiri didepannya.
“Gimana?” tanya Caca
penasaran. Egi menunduk. Semangatnya luntur seketika. Caca membalikkan tubuhnya
lalu melangkah lesu.
Egi menggenggam tangan
Caca. Caca berbalik.
“Kamu kelas XII, Ca.
Pihak festival gak mau ganggu kegiatan belajar kamu buat UN nanti,” Caca
mengangguk pasrah. Egi merasa bersalah, ia kemudian menepuk-nepuk punggung Caca
pelan.
“Yaudahlah, aku ngerti
kok. Mungkin aku belom dapet kesempatan sama Tuhan aja. Kamu gak usah mikirin,
ya,” Caca tersenyum kecut.
“Sorry, Ca. Aku
bukan gak mau bantu lo.”
“Nyantai aja kali, Gi.
Aku gak papa kok,” suara bel sekolah berbunyi.
“Udah bel tuh. Masuk
yuk,” ajak Caca menarik Egi kedalam kelas.
***
Sepanjang pelajaran
berlangsung. Caca tampak diam tak seperti biasanya. Egi yang memperhatikannya
dari tadi mengerti apa yang Caca mau.
Maaf, Ca. Sebenernya
kamu bisa ikutan kok, cuma kamu kan daftar sendiri bukan dari sekolah. Jadi,
kamu harus dapet izin dari keluarga. Sedangkan aku tau, kakak kamu gak mungkin
izinin elo. Aku pikir semuanya gak serumit ini.
Egi berniat sepulang
sekolah nanti, dirinya akan menemui kakak Caca. Apapun resikonya, demi
sahabatnya, Caca. Ini kali pertama Caca mau mengikuti sarannya untuk mengikuti
lomba musik. Tapi, justru ini sangat sulit. Sulit untuk meluluhkan orang
berpendirian keras seperti kakaknya, Rara.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar