Our amazing new site will launch in

Kamis, 13 September 2012

Cerpen II


Andaikan, ya. Andaikan!(II)
Karya: Asri Saepul Putri

Esoknya, di waktu jam kerja. Caca, Rara, Pak Deni, dan tentunya jenazah dari Bu Rhena beserta keluarga segera take-off. Meski awalnya Rara menolak karena masih trauma dengan pesawat.
Setiba di Jakarta. Bandara dipenuhi dengan puluhan wartawan yang seperti ingin tahu apa yang terjadi dengan keluarga Pak Denisi komponis besar. Keluarga mereka masih menghindar dari sorotan kamera. Mereka ingin segera membawa Pak Deni ke rumah sakit dan Bu Rhena di ke rumah duka-kan.
Pak Deni di rumah sakit ditemani adik semata wayangnya beserta istrinya. Sedangkan Caca dan Rara mengantar Sang Bunda untuk kembali ke rumah mereka. Jenazah Bu Rhena terbujur kaku ditengah rumah. Jenazah Bu Rhena yang akan segera dikebumikan sore nanti diwarnai isak tangis yang tak berhenti. Baik dari keluarga maupun saudara dan sahabat-sahabat dekat keluarganya. Semua pelayad memberikan dukungan penuh untuk keluarga yang ditinggalkan terlebih pada Caca dan Rara yang masih belia.
Buliran benda bening menyeruak dari pojok mata mereka yang menyaksikan prosesi pemakaman sang penyanyi kontemporer itu. Rara sangat dekat dengan sang mama. Inilah yang membuat dia lebih tak rela berbeda dengan Caca. Ia tampak lebih tegar meski air mata terus saja menemaninya.
Setelah pemakaman usai, Caca segera menemui Sang Ayah dengan anak dari kakak Bundanya. Dia Naira. Usianya memang sudah 18 tahun. Tak aneh ia sudah memiliki sebuah mobil Jazz berwarna biru muda. Ini membuat Caca diantar olehnya. Rara sengaja tidak ikut kali ini, kerabat dekat keluarganya merasa Rara belum bisa untuk lebih tenang.
Caca memeluk erat tubuh Ayahnya. Ayahnya terdiam tak merespon keluh kesah Caca. Caca merengek manja ingin Ayahnya merespon.
Tiga hari berlalu, Pak Deni masih tak sadarkan diri. Pak Deni ditemani kedua putrinyaRara dan Caca. Sepulang sekolah, mereka pulang bersama. Mereka masih setia menunggu kabar baik mengenai Ayahnya.
Tiba-tiba, Pak Deni membuka matanya. Caca dan Rara yang menyadari itu seraya tersenyum manis menatap Ayahnya. Mata mereka berkaca-kaca.
“Ayah…,” ujar mereka bersamaan. Pak Deni tersenyum kecut.



“Kalian harus saling menyayangi dan melindungi. Ayah sayang Ara sama Caca,” ujarnya lemah. Mereka manggut-manggut. Caca tersenyum penuh keraguan-ragu dengan respon Ayahnya.
Pak Deni pun menutup kembali matanya.
Ngengggggg… suara nyaring keluar dari alat pendeteksi jantung Pak Deni. Caca dan Rara seketika panik. Refleks Caca berlari keluar ruangan dan kembali membawa dokter dan suster yang menangani Ayahnya.
Rara menggigit bawah bibirnya seketika melihat kondisi Ayahnya yang sedang diperiksa dokter. Ia memeluk Caca hangat. Caca terisak dipelukan Rara.
Dokter tiba-tiba menutup tubuh Pak Deni keseluruhan. Caca mengerti maksud dokter lantas menghampiri dokter. Sedangkan Rara mengangga. Kejadian buruk itu kembali. Kali ini Ayahnya yang harus pergi. Caca memeluk erat Ayahnya yang telah tiada. Rasa tak kuasa dengan semuanya ini membuatnya kalut. Ia berbicara sendiri. Rara menghampiri Caca, memeluk adiknya.
Caca menggeleng keras. Pukulan terbesar mendatangi keluarganya saat itu. Kini, Caca dan Rara telah yatim piatu. Dan, ini tidak ingin ia rasakan. Apalagi disaat kondisi Caca dan Rara masih belum bisa menjalani hidup mereka berdua saja. Mungkin hanya ditemani pembantu, dan pegawai lainnya.
Pak Deni dipulangkan ke rumah keluarganya. Untuk kedua kalinya keluarga mereka tertimpa cobaan yang sama. Belasan rangkaian bunga kembali tersusun rapi di halaman megah rumah keluarga Heriawan.
Pemakaman telah selesai. Kini tinggal Caca dan Rara yang masih ada disamping makam Pak Deni yang tepat disamping kanan makam Bu Rhena, istrinya. Memang rasanya ini tidak adil untuk mereka. Makam mamanya saja masih basah, sekarang harus disusul oleh papanya. Air mata belum kering, malah tambah lembap.
Bola mata Rara bolak-balik memandangi nisan Bunda dan Ayahnya. Terpancar raut dendam didalam hatinya. Ia kemudian berdiri tegap. Caca menyeka air matanya dan ikut berdiri menyamai posisi Rara.
“Ca, mulai saat ini kamu dan kakak jangan pernah dekat dengan hal yang berhubungan dengan MUSIK lagi. Kakak gak suka,” ujarnya keras. Ia tampak kecewa dengan semuanya ini.
“Tapi, kak. Kita hidup di lingkungan musik. Aku gak bisa. Aku cinta musik.”
“Denger ya. Musik bagian dari semua masalah kita, Ca,” katanya keras kepala.
“Kak, kakak tau kan? Kita harus mengurusi studio rekaman Bunda dan Ayah. Kursusan musik Ayah. Dan,…”
“Cukup. Kakak bilang enggak ya enggak. Kita bisa hidup lewat beberapa butik dan salon milik Bunda. Dan kebun strawberry kita di puncak,” Caca menunduk.
Caca hapal betul sikap kakaknya itu. Sama dengan sikap Ayahnya. Ia menghela nafas panjang menerima dengan pasrah apa yang dikatakan Rara. Rara tersenyum kemenangan, ia memeluk Caca.
“Kakak cuma mau menuhin semua kemauan Ayah. Ayah mau kita baik-baik aja kan?” Tasya mengagguk lesu.
***
Ya, itulah yang terjadi. Memang ini tidak adil untuk Caca. Hingga kini, ia diam-diam masih mengunjungi kursusan dan studio rekaman milik orangtuanya yang saat ini dipegang oleh sepupunya, Naira. Rara memang tak pernah secara langsung menyakiti fisiknya. Namun, ini beban mental untuknya. Ia ingin Rara kembali meyakini bahwa musik tidak sejahat yang ada dipikirannya.
Harapan mungkin hanya setitik debu. Namun, Caca yakin. Suatu hari nanti Rara akan mengerti dan memahami bahwa musik memang layak diminati.
“Bunda… Ayah…,” teriaknya mengeluarkan segala kerinduannya. Ia memeluk foto keluarganya lalu dipeluknya erat. Caca menatap foto itu lekat-lekat.
“Andai mama sama papa masih ada. Mungkin kak Rara tidak akan seperti ini. Bahkan, bukan hanya mungkin tapi, pasti. Aku gak tau apa yang musti aku perbuat lagi,” Caca menitikkan air matanya di atas sebingkai foto keluarga yang tampak berbahagia.
I have a dream.. a song to sing.. to  help me go..
Caca menarik ponselnya. Tertera nama Egi disana. Caca pun memencet tombol ok.
Egi mengabarkan bahwa akan ada festival musik se-ibukota. Egi memang sangat mendukung bakat Caca bermusik. Setiap ada lomba tentang musik. Caca selalu dikabarinya. Caca selalu enggan untuk mengikutinya. Jawabannya juga hanya nggak bisa.
Namun, kali ini berbeda. Ia ingin kembali bermusik. Ia yakin dirinya harus berusaha bukan hanya berdiam menunggu waktu yang membantunya.
“Haloo, Ca. Kamu masih disana kan? Jadi mau gak? Nanti aku bantuin deh. Aku daftarin sekalian,” untuk kesekian kalinya kata-kata itu keluar dari ponsel Caca. Caca bergeming.
“Iya, aku mau. Bantuin aku ya, Gi,” ujarnya yakin.
Caca pun menutup perbincangannya. Ia yakin semuanya akan baik-baik saja. Ia menghapus air matanya dan kembali meraih foto tadi.
“Doain Caca, ya, Bunda, Ayah.”
Caca mengelus lembut kaca yang melindungi fotonya. Ia tersenyum manis.
***
Pagi ini, Caca berlari cepat menuruni satu persatu anak tangga. Caca tampak semangat hari ini. Ia duduk dengan senyum khasnya. Rara yang ada depannya tersenyum bahagia. Caca mengoles blueberry jam ke roti pandan miliknya. Memang terasa aneh blueberry jam dengan roti pandan. Namun, inilah kebiasaan Caca. Rara hanya menggeleng melihat Caca.
“Kenapa kak? Nge fans?” Caca cekikikan lucu. Rara ilfeel.
“Makan yang bener. Bukan cekikikan gak jelas gitu,” Rara kembali ke makanannya.
“Iya, masih pagi, Kak. Jangan ngomel-ngomel mulu, entar cepet tua loh,” ujarnya disela melahap rotinya.
“Caca…,” geram Rara. Caca cengar-cengir.
“Caca duluan, ya mbak. Bye…,” Caca mencium pipi kanan Rara. Ia pun ngacir keluar rumah. Rara geleng-geleng.
“Mbak, mbak, di kata tukang jamu apa?” dumelnya sambil menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya.
***
Caca berlari secepat jatuhan air terjun ke aliran sungai. Ia bolak-balik mencari sahabat dekatnya. Semangatnya semakin menjadi-jadi seketika menemukan orang yang dicarinya. Caca berdiri didepannya.
“Gimana?” tanya Caca penasaran. Egi menunduk. Semangatnya luntur seketika. Caca membalikkan tubuhnya lalu melangkah lesu.
Egi menggenggam tangan Caca. Caca berbalik.
“Kamu kelas XII, Ca. Pihak festival gak mau ganggu kegiatan belajar kamu buat UN nanti,” Caca mengangguk pasrah. Egi merasa bersalah, ia kemudian menepuk-nepuk punggung Caca pelan.
“Yaudahlah, aku ngerti kok. Mungkin aku belom dapet kesempatan sama Tuhan aja. Kamu gak usah mikirin, ya,” Caca tersenyum kecut.
Sorry, Ca. Aku bukan gak mau bantu lo.”
“Nyantai aja kali, Gi. Aku gak papa kok,” suara bel sekolah berbunyi.
“Udah bel tuh. Masuk yuk,” ajak Caca menarik Egi kedalam kelas.
***
Sepanjang pelajaran berlangsung. Caca tampak diam tak seperti biasanya. Egi yang memperhatikannya dari tadi mengerti apa yang Caca mau.
Maaf, Ca. Sebenernya kamu bisa ikutan kok, cuma kamu kan daftar sendiri bukan dari sekolah.  Jadi, kamu harus dapet izin dari keluarga. Sedangkan aku tau, kakak kamu gak mungkin izinin elo. Aku pikir semuanya gak serumit ini.
Egi berniat sepulang sekolah nanti, dirinya akan menemui kakak Caca. Apapun resikonya, demi sahabatnya, Caca. Ini kali pertama Caca mau mengikuti sarannya untuk mengikuti lomba musik. Tapi, justru ini sangat sulit. Sulit untuk meluluhkan orang berpendirian keras seperti kakaknya, Rara.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About Me

Foto Saya
Mahasiswi Diploma-Gizi, angkt 51 Institut Pertanian Bogor. Orisinal dr Cianjur.
Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive