Our amazing new site will launch in

Kamis, 13 September 2012

Cerpen III




Andaikan, ya. Andaikan!(III)
Karya: Asri Saepul Putri

Egi menggas motornya meninggalkan sekolah. ia berniat pergi ke kampus Rara. Memang perlu nyali yang beribu dan tingkatan kesabaran yang di titik puncaknya. Egi sudah sangat matang menghadapi kerasnya Rara.
Motornya terparkir tepat di parkiran universitas terkemuka di Jakarta, bahkan Indonesia. Bangunan yang super megah dan luasnya yang tak habis dari pandangan mata yang bergerak lurus kedepan. Berbagai aktifitas di kampus itu memang tak berbeda jauh dengan perilaku anak SMA.
Egi yang memakai pakaian putih-abu dicegat oleh laki-laki berpostur tegap, usianya tampak separuh baya. Egi terhenti.
“Adek mau apa disini?” ujarnya to the point.
“Saya mau ketemu kakak saya,” ujarnya berbohong.
“Siapa nama kakakmu?” introgasinya yang tak lain satpam dari kampus yang akan dimasukinya.
“Rara Heriawan.”
“Oh, ya sudah. Saya akan mengantarmu,” Egi mengangguk sambil mengelus dada kemudian ia mengikuti langkah pak satpam.
“Ini kelasnya. Jangan berbuat onar,” pesannya lalu meninggalkan Egi.
Egi mengetuk pintu yang sebenarnya telah terbuka setengahnya. Ia berdiri dibelakang pintu.
“Permisi…,” kata Egi berkali-kali. Egi menyingkir setelah tahu akan ada yang menghampirinya.
Egi tersenyum manis, “Cari siapa, Dek?” tanyanya-seorang gadis dewasa-
“Ada kak Raranya gak?”
“Ada keperluan apa??”
“Saya temen adeknya, kak. Bisa tolong panggilin kak Raranya?” gadis itu tersenyum. Ia kembali ke kelasnya. Egi menguatkan nyalinya kemudian bolak-balik menghirup dan menghembuskan nafas.
“Egi?!” Egi yang baru sadar masih linglung. Ia celingak-celinguk. Rara yang merasa bingung menepuk pundak Egi. Egi menelan ludah.
“Siapa disana?” ujarnyaEgibergetar. Rara yang berdiri dibelakang Egi garuk kepala.
“Katanya kamu nyari saya. Ini saya Rara,” Egi tersenyum lega. Ia berbalik sambil cengar-cengir yang menurut Rara memualkan. Rara mendelik sinis. Egi terdiam.
Huhhh, jutek abis. Tapi, aku musti lakuin ini. Gak ada waktu lagi. Batin Egi beradu, ia nyaris untuk mundur sebelum perang. Namun, ia yakin. Jika dirinya mundur, sama halnya dia lelaki pengecut dan itu predikat yang dibencinya.
“Bisa kita bicara bentar ga, Kak? Ini penting.”



Egi memang telah mengenal dekat Rara sejak dirinya menginjak kelas 8 SMPsaat dirinya satu kelas dengan Caca. Mereka selalu bersama, hubungan mereka bahkan sangat dekat. Tak sedikit kabar berhembus jika keduanya menjalin hubungan khusus. Namun, mereka menanggapinya dengan santaiseolah tak ada apapun.
“Emang ada apa? Sepenting apa sih ? Bisa bicara sekarang, kan?” kata Rara seakan tak ingin bertemu dengan Egi.
“Ya udah disana aja, kak. Bisa, kan?” Egi menunjuk deretan kursi yang ada didepannya. Rara mengangguk. Mereka pun duduk disana.
Egi mengeluarkan map kertas berwarna merah dari dalam tasnya. Kemudian, ia simpan di tengah posisinya dengan Rara. Ia juga menyimpan bolpoin hitam disana. Mereka berdiam diri, tak ada yang memulai. Egi mulai bosan, ia menyodorkan bolpoin tadi ke Rara. Rara mengerutkan keningnya.
“Maksudnya apa?” tanya Rara bingung.
“Kak, bantuin saya. Ini demi adik kakak juga. Tanda tangani pernyataan ini,” Egi mengambil map lalu diberikannya kepada Rara.
Rara membaca kertas yang ada didalam map. Matanya jeli melihat satu persatu kalimat yang terdapat disana. Tampak wajahnya memerahkesal. Egi yang telah memperhitungkan resiko yang akan didapatnya sudah mengerti akan wajah dari Rara.
Rara menutup map dengan perasaan kesal dan muak. Ia melempar map itu ke wajah Egi. Egi kaget, ia mengambil map yang terjatuh didepan kakinya.
“Jangan pernah kamu ngehasut adek saya buat ikutan hal bodoh seperti itu! Saya gak suka, dan kamu gak usah berharap saya mau nandatanganin berkas lo itu,” sentak Rara sambil menunjuk-nunjuk muka Egi. Ia berniat meninggalkan Egi. Namun, tangannya ditahan seseorang. Rara melepaskan tangan itu kasar. Ia melangkah angkuh.
“Rara, kamu gak boleh kayak gitu,” ujar seseorang dari belakangnya. Rara yang sangat mengenali suara tadi beralih ke belakang.
“Tyo?” orang yang dipanggil Tyo pun menghampiri Rara. Egi masih turun nyali, ia memilih bergeming.
“Ara, kamu gak boleh kayak gitu,” kata-kata tadi terulang. Rara tak berani menyahut.
“Apa masalah kamu? Cerita sama aku,” Rara masih diam seribu bahasa.
Tyo adalah kekasih Rara yang telah menemaninya selama 15 bulan belakangan ini. Ia selalu sabar dengan sikap Rara yang keras kepala, ia percaya bahwa ini shock berat yang terjadi karena masa lalunya. Kelembutan Tyo memberikan penjelasan pada Rara jika sedang tertimpa masalah menjadi rutinitas yang tak pernah diwarnai permasalahan baru.
Tyo meyakini jika dirinya bersikap keras sama dengan Rara, hubungan mereka tidak akan berlangsung lama. Sama seperti nasib kisah cinta Rara dengan mantan-mantannya dulu. Sedikit demi sedikit, Rara dapat mengurangi keangkuhannya.
“Aku benci musik, Yo. Kamu tau itu, kan?” ujarnya kesal.
“Aku tau. Tapi, kamu harus mendengarkan penjelasan dari dia dulu. Kamu jangan dulu emosi,” Tyo mencoba memahami perasaan Rara. Ia berbicara sangat lembut.
Tyo memberikan sandi untuk Egi segera menghampirinya. Egi yang kebetulan memperhatikan mereka dari tadi lantas mengangguk dan mendekati Tyo dan Rara.
“Kamu ada perlu apa?” tanya Tyo melirik Egi.
“Saya mau minta persetujuan dari kak Rara, Kak. Saya tau kak Rara membenci hal ini. Tapi, ini demi Caca. Dia terlihat antusias dengan festival kali ini,” tutur Egi.
“Festival?” Egi mengangguk. Rara melipat tangannya.
“Kak, saya mohon. Bantu saya, saya gak punya banyak waktu. Saya hanya ingin Caca dapat mendapat hal yang dia ingini. Kali ini aja, Kak,” Egi memohon-mohon didepan mereka. Rara terlihat risi dilihat teman-temannya.
“Udah, kamu gak usah gitu. Saya nanti yang bujuk dia, sinikan saja mapnya,” Egi mamberikan map pendaftaran Caca ke Tyo.
“Makasih, Kak. Saya gak tau musti bilang gimana lagi,” Egi tersenyum penuh harapan.
“ Kapan ini musti balik ke kamu lagi?”
“Paling lambat besok pagi setelah jam 10. Kebetulan saya besok sekolah, saya perlu berkas itu kembali nanti sore.”
“Oke, nanti saya kabarin lagi,” Egi mengangguk. Mereka bertukar nomor handphone. Egi pun pamit pulang dengan perasaan sungkan kepada Rara, dan Tyo. Rara melirik Tyo dengan tajam.
“Kamu ngapain bantuin dia? Udah aku bilang, aku gak mau buat nandatangani itu,” protes Rara.
“Kamu pikir lagi hal positif dan negatifnya dong. Belajar dewasa, Ara. Nih, pikir ulang,” Tyo memberikan map ke tangan Rara lalu pergi begitu saja.
“Kamu gak ngerti. Kamu gak sayang lagi sama aku, Yo,” tetesan bening dari pelupuk matanya keluar perlahan. Tyo kembali.
“Aku menyayangimu. Aku mengertimu. Aku ingin kamu tidak phobia lagi dengan musik. Ini tidak sama dengan apa yang kau pikirkan,” Rara menggeleng. Ia berlalu.
“Rara!!!” teriak Tyo. Rara tak menghiraukannya.
Tyo sengaja tak mengejarnya. Ia mengerti bahwa Rara butuh waktu untuk sendiri. Merenungi semuanya.
***
BRAKKKK… Rara membanting pintu kamarnya emosi. Kelelahan menghadapi hidup pedih ini mengeluap begitu saja. Rara melempar map yang dipikirkannya saat ini. Ia memeluk kedua kakinya. Bibirnya ia gigitsalah satu kebiasaannya. Ia menghalau rambut hitam panjang yang menutupi wajah cantiknya.
Rara mengambil boneka lumba-lumba berwarna jingga dari samping ranjangnya. Dipeluknya erat. Boneka yang didapatnya di usianya ke 13 dari Ayahnya. Lalu, ia juga meraih kotak musik di loker yang sudah tak pernah disentuhnya lagi selama bertahun-tahun setelah masa kelamnya dulu.
Ia menyimpan boneka tadi kemudian menatap kotak musiknya. Kotak musik yang diberikan Bundanya dulu. Tangannya sudah rindu ingin membuka itu. Namun, belum terbuka. Rara tiba-tiba melempar kotak musik itu ke belakangnya. Ia mengingat kembali kepedihannya karena sebuah musik.
Lama ia terdiam menatap kotak musik lalu beralih menatap map dari Egi. Kepalanya sungguh berat. Ia pusing kalau harus terus memikirkan hal yang menurutnya kini harus di anulir.
Kata-kata Tyo tadi sangat membebani pikirannya saat ini. Ia mengingat kembali masa sesaat sebelum meninggalnya sang papa. Ingat akan pesan yang disampaikannya.
Kalian harus saling menyayangi dan melindungi. Ayah sayang Ara sama Caca.
Rara mengartikan bahwa melindungi itu melindungi Caca dari musik. Musik yang membuat dirinya dan Caca seperti sekarang ini. Hidup tanpa belaian kasih mama dan papanya. Namun, apakah kini makna yang selama ini ia tancapkan dalam dirinya sangat benarsesuaidengan amanat terakhir papanya itu.
Menyayangi. Selama ini Rara sangat menyayangi Caca sepenuh hatinya. Tapi, apa mungkin menyayangi itu dengan sebatas sikapnya selama ini. Atau justruu… menyayangi dengan mau membebaskan Caca dari kerasnya phobianya terhadap musik. Mana mungkin itu terjadi, sosok keras kepala dan berpendirian kuat sepertinya mau merelakan hal yang di anti-kannya selama ini?
Drrrtttt.. drttt.. drrtt… getaran dari ponsel Rara. Tampak pesan singkat dari Tyo.
Ara, maafin aku klo bkin kmu ksel. Aku cma pngen kmu sdikit brubh. Aku sayang kmu. Pilihlah dgn htimu. Aku yakin kmu orng bijak :)
Rara tersenyum lebar, kekasih yang sangat disayanginya mengerti keadaannya saat ini. Senyumannya  melebar seiring diketiknya pesan singkat untuk Tyo.
Makasih, Yo… kmu emng slalu buat aku kuat. Doain aku ya :)!!!
Pesan terkirim ==>
Rara membolak-balikkan map itu, bingung.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About Me

Foto Saya
Mahasiswi Diploma-Gizi, angkt 51 Institut Pertanian Bogor. Orisinal dr Cianjur.
Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive