Andaikan, ya. Andaikan!(V)
Karya: Asri Saepul Putri
27
Agustus 2010 adalah tanggal pengumuman hasil dari perlombaan kemarin. Caca dan
Rara duduk menunggu hasil dari penampilan mereka. Caca menatap Rara aneh. Rara
yang menyadarinya lantas ikut menatap Caca bingung.
“Kenapa,
Ca?”
“Liontin
dari Ayah sama Bunda mana, Kak?” Rara memeriksa lehernya. Ia terpaku saat
menyadari liontinnya hilang.
“Kamu
emang gak liat, Ca? Kamu, Yo?” tanya Rara panik.
“Aku
aja baru sadar tadi. Aku gak tau,” bantah Caca. Rara mengalihkan pandangannya
pada Tyo.
“Kamu
tau, kan?” Tyo menggeleng.
“Aku
pikir kamu emang sengaja gak pake liontin itu,” Rara melotot.
“Itu,
kan. Liontin keluargaku. Aduhh, dimana sih?” kesal Rara bolak-balik mencari
liontinnya.
“Ini
gara-gara musik. Kalau aja aku gak…”
Seseorang
memotong kata-katanya, “Ini liontinmu?” Rara, Caca, dan Tyo berbalik.
“Bunda…,”
kata Rara dan Caca melihat sosok yang ada didepannya. Wanita paru bayah itu
memeluk Rara dan Caca erat.
“Kalian
Ara sama Caca, kan?” wanita itu merenggangkan pelukannya.
“Iya.
Kita Ara sama Caca,” wanita itu tersenyum penuh haru. Rara dan Caca yang juga
sangat merindukan orantuanya tersenyum manis. Tyo merasakan keharuan dari
pertemuan mereka. Wanita yang ternyata Bu Rhena itu duduk ditengah kedua
putri-putrinya.
Mereka
tidak ingin dulu berbicara banyak karena ingin mendengar dulu prestasi yang
akan diraih Caca. Hati Caca lebih dag-dig-dug dari mereka berempat. Caca
menggenggam tangan Bu Rhena dengan keringat dinginnya.
“Juara
kedua diraih oleh Ratu Dwiana dari SMA Negeri 02 Jakarta Timur.” Caca semakin
bergetar. Rara dan Bu Rhena terus memberi dukungan untuk Caca.
“Dan
juara pertama kita tahun ini adalah… Desya Heriawan dari SMA Bina Global
Jakarta,” Caca sontak jingkrak-jingkrak. Ia tersenyum bahagia. Ia memeluk Rara
dan Bu Rhena kemudian naik ke atas panggung.
Caca
mengucapkan terima kasih yang sungguh besar untuk Rara, Tyo, Egi, dan seluruh
sahabat-sahabatnya. Ia tak menyangka semuanya akan indah seperti sekarang ini
***
Kafe
Victoria, 14.00
Caca,
Rara, Tyo, Bu Rhena, dan Egi sedang merayakan keberhasilan Caca kali ini.
Mereka sengaja lunch bareng. Tampak rona kebahagiaan dari
wajah mereka terlebih dari Caca. Rara menceritakan bahwa dia selama ini sempat
membenci hal-hal berbau musik. Bu Rhena hanya geleng-geleng. Rara juga ikut
terkekeh.
“Ngomong-ngomong
selama ini Bunda kemana?”
tanya Rara.
“Setelah
kejadian itu, Bunda amnesia sayang. Bunda gak inget apa-apa. Bunda selama ini
tinggal di pedesaan sama nenek-nenek baik hati. Seminggu yang lalu, mama
ngerantau ke Jakarta buat nyari kerjaan. Nah, mama dapet kerjaan di cathering,” tutur Bu Rhena.
“Terus
kenapa bisa dapet liontin kak Ara?” tanya Caca.
“Bunda
lagi nganterin kesana. Nah, pas Bunda lewat. Bunda gak sengaja nginjek liontin
itu, Bunda ambil aja. Tiba-tiba ingetan Bunda pulih setelah liat liontin itu,
meski sempet pusing dulu. Bunda pengen ngejar kalian, tapi kalian udah pergi.
Jadi, Bunda kesana lagi tadi,” tungkas Bu Rhena. Mereka manggut-manggut.
“Mas
Deni mana? Ayah mana, sayang?” seketika mereka terdiam. Caca menundukkan
kepalanya.
“Ayah
udah gak ada, Bun. Gara-gara kecelakaan waktu itu,” ujar Caca pelan.
Mata Bu
Rhena berkaca-kaca. Ingin ia menangisi hal ini, namun tak mungkin ia menangis
di depan kedua putrinya. Ini hanya akan membuat mereka ikut terbawa kesedihan
mendalam yang telah sekian tahun terlewatkan.
Caca
dan Rara memeluk Bu Rhena erat.
“Ternyata
musik gak seburuk apa yang aku pikirin. Dengan musik aku bisa ketemu sama mama,”
ujar Rara setelah melepaskan pelukannya.
“Bukan
musik yang salah, ini takdir Tuhan,” ujar Bu Rhena tersenyum manis. Caca, Rara,
Egi, dan Tyo menatap Bu Rhena seakan memberikan jawaban bahwa mereka mengerti.
Caca
sekarang mengerti. Dia percaya, jika dia berniat merubah sesuatu bukan hanya
menunggu, menunggu, dan menunggu. Ia harus action juga. Jika memang ingin mendapatkan
hasilnya.
Rara
telah menyadari bahwa jangan pernah mengkambing hitamkan sesuatu dengan masalah
yang dihadapinya. Ini hanya skenario dari Tuhan semata. Toh, Rara telah percaya
bahwa Tuhan tidak akan memberikan masalah di luar batas kemampuannya. Semuanya
juga akan indah jika telah waktunya, prinsip yang kini Rara tanamkan setelah
semua kejadian sulitnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar