Andaikan, ya. Andaikan!(I)
Karya: Asri Saepul Putri
Dentingan tuts-tuts piano beralun.
Gerakan tangan lincah seorang gadis yang sering disapa Caca sesuai dengan
suasana kalbunya. Disela itu, ia menuntun deraian bening dari pelupuk
matanya dengan tersedu-sedan. Masa lalu yang teramat manis telah
berlalu dengan cepat, mungkin lebih cepat dari selintas buliran yang mengaliri
kedua pipinya kini.
Kadang ia tersenyum kecut di tengah
nostalgianya. Kerapuhan akan hidupnya.
Untuk Ayah tercinta,
Aku ingin bernyanyi…
Walau air mata di pipiku...
Bunda dengarkanlah,
Aku ingin berjumpa…
Walau hanya dalam mimpi...
Ia terhenti. Matanya ia
pejamkan. Pejaman matanya menahan rasa rindu yang teramat mendalam
memberontak memasuki syaraf-syaraf dan darahnya. Ia masih tak berani
melihat dunia yang untuknya mungkin keras, bahkan bisa lebih. Ia
kembali ke piano kunonya. Piano mendiang Ayahnya.
Brakkkk, pintu terbanting keras senada
dengan wajah merahnya pembuka pintu. Bibir Caca bergetar. Kepalanya ia
tundukkan. Sejurus kemudian, ia pun berdiri di depan pintu.
“Kak, aku…,” ia berusaha menetralisir
keadaan. Rara, kakak Caca mengepalkan tangannya. Caca kembali
menunduk. Rara menghela nafas panjang. Ia renggangkan
kembali tangannya.
“Kamu tuh, ya. Musti di bilangin kayak
gimana lagi? Apa kamu gak ngerti sama perasaan kakak?” Rara menunjuk
wajah Caca. Caca mengerti. Ia memilih diam. Rara muak. Ia
beranjak pergi. Namun, Caca menggenggam tangannya.
“Maafkan aku, kak.
Aku…,” Rara melepaskan genggaman Caca kasar.
“Denger yah. Ini bukan kali pertama
kamu seperti ini. Kakak gak percaya lagi.”
Rara menatap Caca penuh
amarah. Ingin berbuat sekasar mungkin. Namun, bagaimanapun juga ia masih
menyayangi adik semata wayangnya itu. Ia sering menghindar setiap kecewa dengan
sikap Caca. Pernah sekali, ia menampar Caca. Rara benar-benar
menyesal. Ia janji takkan mengulangnya lagi. Dan itu memang ia lakukan.
Caca menitikkan air
matanya senada langkah kaki Rara.
Rara kembali. “Dari mana kau
dapat kunci ruangan ini lagi?” Caca diam. “Ngambil dari loker kakak
lagi?”
“Enggak kak. Aku liat kuncinya di meja
makan. Aku hanya,” Caca berani angkat bicara setelah sedari tadi
terdiam. Suaranya tampak bergetar. Ini kesekian kalinya ia di tuduh tidak
sopan. Ia tidak terima.
“Cukup. Ingat jangan pernah kamu kesini
lagi!! Ayo cepet keluar!!” Rara menarik Caca keluar
ruangan. Caca tak dapat berontak. Ia mengerti perasaan kakaknya. Ia
ikut keluar dengan kakaknya.
Rara mengunci ruangan itu. Ia
menarik kunci keluar. Ia pun pergi meninggalkan Caca. Caca menatap
pintu ruangan itu sejenak. Ia pergi menuju ke kamarnya.
***
Caca terdiam di ranjang bernuansa
not balok. Ia masih mengingat kejadian tadi siang. Kemarahan Rara masih
tergambar jelas di benaknya. Ia membaringkan tubuhnya.
Mungkin, aku harus meninggalkan musik.
Aku gak mau hubunganku dengan kak Rara terus begini.
Caca kembali duduk. Ia membenamkan
kepalanya dibalik kedua tangannya. Ia tertegun. Ia tak berani menatap pedihnya
dunia. Sulitnya dunia.
Tapi, aku gak mungkin bisa lepas dari
musik. Musik hidupku. Musik adalah Ayah dan Bunda.
Caca menghela nafas beratnya.
Berat akan pilihan yang harus ditentukannya. Disatu sisi ia sangat mencintai
musik, dan disisi lainnya ia juga harus mengerti akan perasaan kakaknya, Rara.
Air mata yang kini selalu menemaninya tak dapat menjawab sedikitpun
kegundahannya. Ia mengakui bahwa dirinya memang sosok yang cengeng. Ia
mendongak.
Andai kejadian itu gak pernah terjadi.
Semua gak akan sulit kayak gini. Bunda, Ayah … apa yang musti Caca lakuin? Caca bingung. Haruskah Caca yang mengerti keadaan kak Rara.
Atau justru Caca harus egois?
Kejadian itu. Memang kejadian itu.
Kebahagiaannya terenggut. Kerlingan air mata justru selalu datang tanpa
sepengetahuannya. Kejadian yang membuat Rara kakak
dari Caca trauma berat dengan hal-hal berbau musik.
Caca membenamkan kembali
kepalanya. Tanpa di minta memori otaknya kini tengah memutar ulang
semua kejadian yang membuatnya seperti ini.
***
Caca dan keluarganya adalah
keluarga yang sangat menyenangi musik. Terlebih anak sulungnya, Rara.
Bukan hanya itu, orangtua Caca memang seniman musik. Sang Ayah yang
seorang komponis terkemuka dan Bundanya penyanyi kondang di masa
keemasannya. Caca yang sangat mahir memainkan alat musik berbeda
dengan Rara. Rara memiliki suara emas. Suaranya sangat merdu dan menusuk
jantung. Siapa saja yang mendengar suaranya pasti terkagum-kagum. Ia memang
sangat sama dengan mamanya.
Rara memiliki suara berjenis
seriosa. Ia juga hebat dalam me-rap. Ia rapper termuda yang berbakat di
kotanya. Kedua orangtuanya sangat mendukung dengan hobi
putri-putrinya. Caca selalu mengiringi Rara saat mengeluarkan
suara emasnya. Caca sangat menikmatinya. Apalagi jika disandingkan
dengan Sang Ayah dan Bunda. Tak jarang mereka selalu tampil
bersama.
Namun, ini semua haruslah berakhir.
Hari minggu saat berakhir
pekan. Caca yang masih menginjak usia 14 tahun. Pautan usia dengan
sang kakakpun hanya 2 tahun. Mereka sekeluarga akan segera kembali
dengan kota metropolitan, Jakarta. Mereka baru saja menghadiri konser akbar
kawan seperjuangan orangtuanya di Bali.
Pagi itu, mereka telah selesai packing.
Mereka telah siap untuk segera pergi ke bandara. Tawa dan canda memang tak ayal
selalu mereka tampakkan jika saat bersama. Meski, tampak raut kekesalan
pada Caca. Kepergian mereka pun diikuti wartawan dari para pemburu berita
yang tak ingin kehilangan moment ini.
Setelah itu, mereka
akan take-off meninggalkan pulau Dewata, Bali. Perasaan tidak enak
memang membayangi Caca sebelum meninggalkan Bali. Ia sempat berkali
mengeluh dengan jadwal take-off-nya agar diundur. Namun, dengan kesibukan kedua
orangtuanya yang sangat padat. Ia pun terpaksa ikut.
Naasnya, pesawat yang mereka tumpangi
terjatuh tiba-tiba. Entah, apa yang terjadi. Mungkin karena sedang bercuaca
buruk ataupun kesalahan teknis. Pesawat seakan meluncur dengan cepatnya ke
pegunungan. Seluruh penumpang pun sempat dinyatakan tidak ada yang selamat.
Sekali tiga uang dengan penumpang lain, kejadian ini membuat terpecahnya posisi
keluarga Caca.
Setelah selama 14 jam
berlalu. Caca terevakuasi sebagai penumpang yang selamat kedua
setelah penumpang lain. Ia segera dilarikan ke puskesmas terdekat. Keadaannya
memang sedang tak sadarkan diri.
Matanya terbuka perlahan setelah
tak sadarkan diri hampir selama 2 hari penuh di rumah sakit. Ia
mengerjap-ngerjapkan matanya yang kalang kabut. Ia berusaha berkonsentrasi.
“Ayah, Bunda, Kak Rara!!”
panggil Caca terengah-engah. Tak lama, datanglah suster dengan
seorang dokter.
“Kamu kenapa, Dek?” dokter mengecek
keadaan Caca. Suster membantu dokter membaringkan
tubuhnya. Caca yang masih lemah tak dapat memberontak. Namun, ia
sangat bingung dimana dan bagaimana kodisi keluarganya.
“Syukurlah, sekarang kamu telah
membaik,” dokter itu tersenyum. Caca menghela nafas.
“Saya dimana, Dok? Keluarga saya,
dimana?” Caca celingak-celinguk.
“Siapa nama keluargamu? Kamu di
puskesmas, Dek.”
“Ayah saya, Deni
Heriawan. Bunda saya, Citra Rhena. Kakak saya Rara Heriawan.”
“Ya sudah, kami cek dulu ya, Dek.”
Mereka pun pergi meninggalkan tempat Caca.
Caca berharap cemas dengan keadaan
keluarganya. Telah ribuan detik waktu habis. Namun, hingga kini dokter dan
suster tersebut masih belum kembali. Firasat buruk semakin menjalar ke dalam
tubuhnya. Kepanikan akan keluarganya tak terbendung lagi. Ia mencoba kuat, ia
masih memilki harapan kepada keluarganya. Caca terdiam.
Merekapun kembali.
“Bagaimana dengan kondisi keluarga
saya?” tanpa basa-basi Caca lantas bertanya. Mereka diam. “Jawab,
Dok, Sus,” Caca bergetar. Suster
mendekati Caca. Caca bingung.
“Bu Citra Rhena, dia telah tiada.
Kecelakaan ini merenggut nyawanya,” ujar dokter.
JDERRRRR, layaknya tersambar petir. Ia
terkejut dan menganga.
“Pak Deni Heriawan belum terevakuasi
hingga kini,” Caca menggeleng keras, “Dan kakakmu Rara Heriawan masih belum
sadar.”
Air mata yang sejak tadi dibendungnya,
akhirnya mengalir dengan derasnya. Ia terisak. Suster yang ada disampingnya
terus berusaha untuk menenangkan Caca. Caca tetap sama sekali
tidak percaya dengan ucapan tadi. Ia histeris.
“Kalau memang itu yang terjadi.
Pertemukan saya dengan Bunda dan kakak saya,”
pinta Caca penuh pengharapan.
“Kamu belum…”
“Saya mohon. Tidak ada yang lebih
berarti di hidup saya kecuali mereka,” Dokter dan suster terdiam. Mereka saling
bertatapan sejenak. Suster tampak meninggikan bahunya. Dokter mengalihkan
padangannya kembali ke Caca. Ia tidak tega melihat Caca.
“Baiklah, antar dia ke mereka, Sus!”
Suster mengangguk. Ia membantu Caca terbangun.
“Makasih, Dok,” Dokter mengangguk.
Caca turun dari ranjangnya. Ia
perlahan berjalan gontai. Hatinya dag-dig-dug berasa ingin beradu antara cemas
dan bahagia dapat bertemu mereka lagi. Caca di arahkan menuju ke
ruangan yang penuh dengan manusia-manusia yang terbaring ditutupi selembar kain
putih. Ada juga yang berada di kantong kuning panjang. Tampak darah-darah menghiasi
ruangan tersebut. Bau menyengat dari obat-obatan bercampur menjadi satu dengan bau
mereka yang disana. Banyak orang menangis dibeberapa jenazah didepannya.
Caca menghela nafas berat.
Bagaimanapun juga ia harus segera menemui mamanya. Langkahnya terhenti tepat
didepan jenazah yang tertutup kain putih. Caca masih terdiam.
“Boleh saya buka, Sus?” Suster
mengangguk.
Tangannya terasa kaku. Air matanya
kembali mengalir dengan sendirinya.
“Adek yakin?” bagaimana suster tidak
bertanya seperti itu. Melihat jenazahnya saja ekspresi Caca sangat
memprihatinkan apalagi sampai melihat wajahnya. Caca menoleh, ia
tersenyum kecut.
Perlahan tangannya mulai tidak kaku. Ia
menarik kain sebelah atas kepala jenazah itu. Nafasnya terhenti seketika
melihat wajah orang itu, wajahnya terbakar. Kecantikan Bu Rhena tak dapat
dilihatnya lagi sejak saat itu. Ia menutup wajahnnya. Ia menggeleng keras.
Tangisnya terpecah sanggar. Ia menutup kembali kain tadi.
“Gak, gak mungkin. Bunda gak
mungkin tinggalin aku. Aku yakin, enggak,” ia masih tak percaya dengan apa yang
dihadapinya saat ini. Suster merangkul Caca.
Ditenangkannya Caca. Caca masih tak kuasa menerima peristiwa
ini. Ini sangatlah berat untuknya.
“Bunda, kenapa tinggalin aku secepet
ini, Bun. Aku gak sanggup.” Caca terisak dipelukan suster.
“Adek yang sabar ya. Ini cobaan untuk
kamu. Kamu harus bisa untuk mengambil hikmah atas semua yang
terjadi,” Caca mengangguk.
“Antarkan saya nemuin kak Rara, Sus.”
“Baiklah,” mereka pun bergegas menuju
tempat keberadaan Rara.
Caca berjalan ke arah ruangan yang
penuh dengan orang-orang yang menunggu keluarganya dan pasien itu sendiri.
“Ayah, Bunda, Caca…,” panggil
seseorang lemah. Caca sangat mengenali suara bergetar itu. Ia
terdiam.
“Kak Ara.”
“Ara? Siapa dia? Bukankah kakakmu
Rara?” Suster bingung dengan tingkah Caca. Pertanyaan beruntun pun tak
dapat dihindari.
“Kak Ara ya kak Rara. Itu
nama sapaan saya. Dimana dia?” Suster membulatkan bibirnya. Ia kembali
mengarahkan Caca ke tempat kakaknya berada.
“Kak Ara…,” ujarnya setelah ada
didepan Rara.
“Caca…,” Caca mengangguk.
Ia menghambur dipelukan Rara. Mereka terisak bersama.
“Ayah sama Bunda mana, Ca?” Caca melepaskan pelukan
Rara. Ia menatap Rara lirih. “Maksudmu apa? Kenapa natap kakak gitu?”
Caca bingung. Ia ingin mengatakan
yang sebenarnya tapi, bagaimana nanti dengan kondisi Rara setelah mendengar
kabar buruk yang sebenarnya masih kabar burung. Caca menatap Rara dalam.
“Jawab pertanyaan kakak. Dimana
mereka?” Rara menarik-narik tangan Caca. Kejanggalan yang ia rasakan semakin
meyakinkannya. Caca menunduk.
“Jawab atau kakak akan membencimu
selamanya,” Rara semakin tidak sabar dengan kabar kondisi
orangtuanya. Terlebih kabar dari Bundanya. Orang terkasihnya.
“Ayah… aku gak tau keadaan beliau.
Dokter yang merawatku bilang kalau papa masih dicari tim evakuasi,” Rara
membulatkan matanya.
“Bunda?”
“Bunda…,” Caca masih bingung bagaimana
cara ia memberitahu Rara, “Bunda udah gak ada kak,” Caca menunduk. Rara
histeris. Caca mencoba menenangkan kakaknya namun ia semakin histeris. Caca
mencoba lebih tegar. Ia terus saja memberikan dukungan untuk Rara. Rara
gelagapan. Ia tak tahu harus berkata apa lagi. Lidahnya serasa membeku.
“Anterin kakak ketemu mama, Ca,” pinta
Rara lirih. Ia memohon dengan sangat. Perasaan tak sabar ingin melihat kondisi
sang mama yang rasanya membakar hatinya.
“Tapi, kakak masih lemah. Kak Rara kan
masih pucet gitu,” tolak Caca lembut. Ia tahu dirinya juga berkondisi sama.
Namun, ia tak ingin kakaknya semakin down.
“Kalo kamu gak mau nganter kakak. Kakak
akan kesana sendiri,” ancam Rara lekas melepaskan selimut biru tipis khas rumah
sakit. Caca yang tak menyangka dengan kebersikerasan kakaknya akhirnya membuat
dia panik. Ia menyerah. Caca pun mengantar Rara menuju ruang yang ditempati Bu
Rhena.
Rara kembali histeris. Ia
menjerit-jerit. Urat-uratnya nyaris keluar. Tenaga yang dimilikinya tak
seberapa membuatnya pingsan begitu saja setelah menatap jenazah sang mama. Rara
dikembalikan ke ruang rawatnya. Caca pun pindah ruangan ke ruangan yang sama
dengan Rara.
Tiga jam lebih waktu yang habis hingga
saat itu. Caca masih menangis. Air matanya membasahi bantal. Matanya sembap
sayu. Kakaknya masih tak sadarkan diri. Tak lama, datang suster disela
tangisnya.
“Dek, ayahmu namanya Pak Deni Heriawan,
kan?” Caca mengangguk. Ia terperanjat. Duduk dengan harap cemas.
“Apa ada kabar mengenai Ayah saya,
Sus?”
“Iya, Dek. Papa adek udah ketemu.
Beliau masih hidup,” Caca tersenyum manis. Senyuman yang selama seharian ini
tak terlihat.
“Sungguh? Dimana Ayah saya sekarang?”
“Ayah kamu memang masih hidup. Tapi,
keadaannya kritis,” senyuman Caca meluntur begitu saja. Ia kembali mengeluarkan
air matanya.
“Antarkan saya, Sus,” pinta Caca.
“Mari, Dek.”
Merekapun pergi menemui Pak Deni. Rasa
syukur masih Caca kucurkan mengingat sang Ayah masih ada di dunia yang fana
ini. Namun, harapan kesadaran sang papa sangatlah mutlak.
***
Matahari kini sudah lelah menemamani
langit. Kini langitpun bermetafora. Jingga warna yang sesuai dengan indahnya
senja ini.
Caca mengelus tangan sang papa yang
masih tak sadarkan diri. Kini, bukan hanya Caca. Telah ada adik dan kakak dari
orangtuanya juga Ara. Mereka masih mengharapkan kesadaran Pak Deni.
Dokter masuk.
“Permisi,” izinnya ramah. Mereka
tersenyum kecut.
Dokter pun memeriksa keadaan Pak Deni
dengan Susternya. Caca menghindar sementara. Tiba-tiba, dokter menggeleng. Ia
tampak sanksi melihat kondisi Pak Deni. Dokter itu pun memberitahukan bahwa Pak
Deni harus segera dibawa ke Jakarta karena alat kedokteran di daerah tersebut tidak
memadai. Pak Deni semakin lemah.
Keluarga dari orangtua Caca pun
memutuskan untuk mengikuti saran dari Dokter. Caca dan Rara tak berani
berkomentar. Ia yakin keluarganya akan dapat membantu kesembuhan Ayahnya. Ini
karena keluarga orangtuanya sangat harmonis dengan Ayahnya. Mereka menyayangi
Pak Deni.
to be continue.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar