Our amazing new site will launch in

Sabtu, 01 September 2012

Cerpen


Andaikan, ya. Andaikan!(I)
Karya: Asri Saepul Putri

Dentingan tuts-tuts piano beralun. Gerakan tangan lincah seorang gadis yang sering disapa Caca sesuai dengan suasana kalbunya. Disela itu, ia menuntun deraian bening dari pelupuk matanya dengan tersedu-sedan. Masa lalu yang teramat manis telah berlalu dengan cepat, mungkin lebih cepat dari selintas buliran yang mengaliri kedua pipinya kini.
Kadang ia tersenyum kecut di tengah nostalgianya. Kerapuhan akan hidupnya.
Untuk Ayah tercinta,
Aku ingin bernyanyi…
Walau air mata di pipiku...
Bunda dengarkanlah,
Aku ingin berjumpa…
Walau hanya dalam mimpi...
Ia terhenti. Matanya ia pejamkan. Pejaman matanya menahan rasa rindu yang teramat mendalam memberontak memasuki syaraf-syaraf dan darahnya. Ia masih tak berani melihat dunia yang untuknya mungkin keras, bahkan bisa lebih. Ia kembali ke piano kunonya. Piano mendiang Ayahnya.
Brakkkk, pintu terbanting keras senada dengan wajah merahnya pembuka pintu. Bibir Caca bergetar. Kepalanya ia tundukkan. Sejurus kemudian, ia pun berdiri di depan pintu.
“Kak, aku…,” ia berusaha menetralisir keadaan. Rara, kakak Caca mengepalkan tangannya. Caca kembali menunduk. Rara menghela nafas panjang. Ia renggangkan kembali tangannya.
“Kamu tuh, ya. Musti di bilangin kayak gimana lagi? Apa kamu gak ngerti sama perasaan kakak?” Rara menunjuk wajah Caca. Caca mengerti. Ia memilih diam. Rara muak. Ia beranjak pergi. Namun, Caca menggenggam tangannya.
“Maafkan aku, kak. Aku…,” Rara melepaskan genggaman Caca kasar.
“Denger yah. Ini bukan kali pertama kamu seperti ini. Kakak gak percaya lagi.”
Rara menatap Caca penuh amarah. Ingin berbuat sekasar mungkin. Namun, bagaimanapun juga ia masih menyayangi adik semata wayangnya itu. Ia sering menghindar setiap kecewa dengan sikap Caca. Pernah sekali, ia menampar Caca. Rara benar-benar menyesal. Ia janji takkan mengulangnya lagi. Dan itu memang ia lakukan.
Caca menitikkan air matanya senada langkah kaki Rara.
Rara kembali. “Dari mana kau dapat kunci ruangan ini lagi?” Caca diam. “Ngambil dari loker kakak lagi?”
“Enggak kak. Aku liat kuncinya di meja makan. Aku hanya,” Caca berani angkat bicara setelah sedari tadi terdiam. Suaranya tampak bergetar. Ini kesekian kalinya ia di tuduh tidak sopan. Ia tidak terima.
“Cukup. Ingat jangan pernah kamu kesini lagi!! Ayo cepet keluar!!” Rara menarik Caca keluar ruangan. Caca tak dapat berontak. Ia mengerti perasaan kakaknya. Ia ikut keluar dengan kakaknya.
Rara mengunci ruangan itu. Ia menarik kunci keluar. Ia pun pergi meninggalkan Caca. Caca menatap pintu ruangan itu sejenak. Ia pergi menuju ke kamarnya.
***

Caca terdiam di ranjang bernuansa not balok. Ia masih mengingat kejadian tadi siang. Kemarahan Rara masih tergambar jelas di benaknya. Ia membaringkan tubuhnya.
Mungkin, aku harus meninggalkan musik. Aku gak mau hubunganku dengan kak Rara terus begini.
Caca kembali duduk. Ia membenamkan kepalanya dibalik kedua tangannya. Ia tertegun. Ia tak berani menatap pedihnya dunia. Sulitnya dunia.
Tapi, aku gak mungkin bisa lepas dari musik. Musik hidupku. Musik adalah Ayah dan Bunda.
Caca menghela nafas beratnya. Berat akan pilihan yang harus ditentukannya. Disatu sisi ia sangat mencintai musik, dan disisi lainnya ia juga harus mengerti akan perasaan kakaknya, Rara. Air mata yang kini selalu menemaninya tak dapat menjawab sedikitpun kegundahannya. Ia mengakui bahwa dirinya memang sosok yang cengeng. Ia mendongak.
Andai kejadian itu gak pernah terjadi. Semua gak akan sulit kayak gini. Bunda, Ayah … apa yang musti Caca lakuin? Caca bingung. Haruskah Caca yang mengerti keadaan kak Rara. Atau justru Caca harus egois?
Kejadian itu. Memang kejadian itu. Kebahagiaannya terenggut. Kerlingan air mata justru selalu datang tanpa sepengetahuannya. Kejadian yang membuat Rara kakak dari Caca trauma berat dengan hal-hal berbau musik.
Caca membenamkan kembali kepalanya. Tanpa di minta memori otaknya kini tengah memutar ulang semua kejadian yang membuatnya seperti ini.
***
Caca dan keluarganya adalah keluarga yang sangat menyenangi musik. Terlebih anak sulungnya, Rara. Bukan hanya itu, orangtua Caca memang seniman musik. Sang Ayah yang seorang komponis terkemuka dan Bundanya penyanyi kondang di masa keemasannya. Caca yang sangat mahir memainkan alat musik berbeda dengan Rara. Rara memiliki suara emas. Suaranya sangat merdu dan menusuk jantung. Siapa saja yang mendengar suaranya pasti terkagum-kagum. Ia memang sangat sama dengan mamanya.
Rara memiliki suara berjenis seriosa. Ia juga hebat dalam me-rap. Ia rapper termuda yang berbakat di kotanya. Kedua orangtuanya sangat mendukung dengan hobi putri-putrinya. Caca selalu mengiringi Rara saat mengeluarkan suara emasnya. Caca sangat menikmatinya. Apalagi jika disandingkan dengan Sang Ayah dan Bunda. Tak jarang mereka selalu tampil bersama.
Namun, ini semua haruslah berakhir.
Hari minggu saat berakhir pekan. Caca yang masih menginjak usia 14 tahun. Pautan usia dengan sang kakakpun hanya 2 tahun. Mereka sekeluarga akan segera kembali dengan kota metropolitan, Jakarta. Mereka baru saja menghadiri konser akbar kawan seperjuangan orangtuanya di Bali.
Pagi itu, mereka telah selesai packing. Mereka telah siap untuk segera pergi ke bandara. Tawa dan canda memang tak ayal selalu mereka tampakkan jika saat bersama. Meski, tampak raut kekesalan pada Caca. Kepergian mereka pun diikuti wartawan dari para pemburu berita yang tak ingin kehilangan moment ini.
Setelah itu, mereka akan take-off meninggalkan pulau Dewata, Bali. Perasaan tidak enak memang membayangi Caca sebelum meninggalkan Bali. Ia sempat berkali mengeluh dengan jadwal take-off-nya agar diundur. Namun, dengan kesibukan kedua orangtuanya yang sangat padat. Ia pun terpaksa ikut.
Naasnya, pesawat yang mereka tumpangi terjatuh tiba-tiba. Entah, apa yang terjadi. Mungkin karena sedang bercuaca buruk ataupun kesalahan teknis. Pesawat seakan meluncur dengan cepatnya ke pegunungan. Seluruh penumpang pun sempat dinyatakan tidak ada yang selamat. Sekali tiga uang dengan penumpang lain, kejadian ini membuat terpecahnya posisi keluarga Caca.
Setelah selama 14 jam berlalu. Caca terevakuasi sebagai penumpang yang selamat kedua setelah penumpang lain. Ia segera dilarikan ke puskesmas terdekat. Keadaannya memang sedang tak sadarkan diri.
 Matanya terbuka perlahan setelah tak sadarkan diri hampir selama 2 hari penuh di rumah sakit. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya yang kalang kabut. Ia berusaha berkonsentrasi.
“Ayah, Bunda, Kak Rara!!” panggil Caca terengah-engah. Tak lama, datanglah suster dengan seorang dokter.
“Kamu kenapa, Dek?” dokter mengecek keadaan Caca. Suster membantu dokter membaringkan tubuhnya. Caca yang masih lemah tak dapat memberontak. Namun, ia sangat bingung dimana dan bagaimana kodisi keluarganya.
“Syukurlah, sekarang kamu telah membaik,” dokter itu tersenyum. Caca menghela nafas.
“Saya dimana, Dok? Keluarga saya, dimana?” Caca celingak-celinguk.
“Siapa nama keluargamu? Kamu di puskesmas, Dek.”
“Ayah saya, Deni Heriawan. Bunda saya, Citra Rhena. Kakak saya Rara Heriawan.”
“Ya sudah, kami cek dulu ya, Dek.” Mereka pun pergi meninggalkan tempat Caca.
Caca berharap cemas dengan keadaan keluarganya. Telah ribuan detik waktu habis. Namun, hingga kini dokter dan suster tersebut masih belum kembali. Firasat buruk semakin menjalar ke dalam tubuhnya. Kepanikan akan keluarganya tak terbendung lagi. Ia mencoba kuat, ia masih memilki harapan kepada keluarganya. Caca terdiam.
Merekapun kembali.
“Bagaimana dengan kondisi keluarga saya?” tanpa basa-basi Caca lantas bertanya. Mereka diam. “Jawab, Dok, Sus,” Caca bergetar. Suster mendekati Caca. Caca bingung.
“Bu Citra Rhena, dia telah tiada. Kecelakaan ini merenggut nyawanya,” ujar dokter.
JDERRRRR, layaknya tersambar petir. Ia terkejut dan menganga.
“Pak Deni Heriawan belum terevakuasi hingga kini,” Caca menggeleng keras, “Dan kakakmu Rara Heriawan masih belum sadar.”
Air mata yang sejak tadi dibendungnya, akhirnya mengalir dengan derasnya. Ia terisak. Suster yang ada disampingnya terus berusaha untuk menenangkan Caca. Caca tetap sama sekali tidak percaya dengan ucapan tadi. Ia histeris.
“Kalau memang itu yang terjadi. Pertemukan saya dengan Bunda dan kakak saya,” pinta Caca penuh pengharapan.
“Kamu belum…”
“Saya mohon. Tidak ada yang lebih berarti di hidup saya kecuali mereka,” Dokter dan suster terdiam. Mereka saling bertatapan sejenak. Suster tampak meninggikan bahunya. Dokter mengalihkan padangannya kembali ke Caca. Ia tidak tega melihat Caca.
“Baiklah, antar dia ke mereka, Sus!” Suster mengangguk. Ia membantu Caca terbangun.
“Makasih, Dok,” Dokter mengangguk.
Caca turun dari ranjangnya. Ia perlahan berjalan gontai. Hatinya dag-dig-dug berasa ingin beradu antara cemas dan bahagia dapat bertemu mereka lagi. Caca di arahkan menuju ke ruangan yang penuh dengan manusia-manusia yang terbaring ditutupi selembar kain putih. Ada juga yang berada di kantong kuning panjang. Tampak darah-darah menghiasi ruangan tersebut. Bau menyengat dari obat-obatan bercampur menjadi satu dengan bau mereka yang disana. Banyak orang menangis dibeberapa jenazah didepannya.
Caca menghela nafas berat. Bagaimanapun juga ia harus segera menemui mamanya. Langkahnya terhenti tepat didepan jenazah yang tertutup kain putih. Caca masih terdiam.
“Boleh saya buka, Sus?” Suster mengangguk.
Tangannya terasa kaku. Air matanya kembali mengalir dengan sendirinya.
“Adek yakin?” bagaimana suster tidak bertanya seperti itu. Melihat jenazahnya saja ekspresi Caca sangat memprihatinkan apalagi sampai melihat wajahnya. Caca menoleh, ia tersenyum kecut.
Perlahan tangannya mulai tidak kaku. Ia menarik kain sebelah atas kepala jenazah itu. Nafasnya terhenti seketika melihat wajah orang itu, wajahnya terbakar. Kecantikan Bu Rhena tak dapat dilihatnya lagi sejak saat itu. Ia menutup wajahnnya. Ia menggeleng keras. Tangisnya terpecah sanggar. Ia menutup kembali kain tadi.
“Gak, gak mungkin. Bunda gak mungkin tinggalin aku. Aku yakin, enggak,” ia masih tak percaya dengan apa yang dihadapinya saat ini. Suster merangkul Caca. Ditenangkannya Caca. Caca masih tak kuasa menerima peristiwa ini. Ini sangatlah berat untuknya.
“Bunda, kenapa tinggalin aku secepet ini, Bun. Aku gak sanggup.” Caca terisak dipelukan suster.
“Adek yang sabar ya. Ini cobaan untuk kamu. Kamu harus bisa untuk  mengambil hikmah atas semua yang terjadi,” Caca mengangguk.
“Antarkan saya nemuin kak Rara, Sus.”
“Baiklah,” mereka pun bergegas menuju tempat keberadaan Rara.
Caca berjalan ke arah ruangan yang penuh dengan orang-orang yang menunggu keluarganya dan pasien itu sendiri.
“Ayah, Bunda, Caca…,” panggil seseorang lemah. Caca sangat mengenali suara bergetar itu. Ia terdiam.
“Kak Ara.”
“Ara? Siapa dia? Bukankah kakakmu Rara?” Suster bingung dengan tingkah Caca. Pertanyaan beruntun pun tak dapat dihindari.
“Kak Ara ya kak Rara. Itu nama sapaan saya. Dimana dia?” Suster membulatkan bibirnya. Ia kembali mengarahkan Caca ke tempat kakaknya berada.
“Kak Ara…,” ujarnya setelah ada didepan Rara.
“Caca…,”  Caca mengangguk. Ia menghambur dipelukan Rara. Mereka terisak bersama. “Ayah sama Bunda mana, Ca?” Caca melepaskan pelukan Rara. Ia menatap Rara lirih. “Maksudmu apa? Kenapa natap kakak gitu?”
Caca bingung. Ia ingin mengatakan yang sebenarnya tapi, bagaimana nanti dengan kondisi Rara setelah mendengar kabar buruk yang sebenarnya masih kabar burung. Caca menatap Rara dalam.
“Jawab pertanyaan kakak. Dimana mereka?” Rara menarik-narik tangan Caca. Kejanggalan yang ia rasakan semakin meyakinkannya. Caca menunduk.
“Jawab atau kakak akan membencimu selamanya,” Rara semakin tidak sabar dengan kabar kondisi orangtuanya.  Terlebih kabar dari Bundanya. Orang terkasihnya.
“Ayah… aku gak tau keadaan beliau. Dokter yang merawatku bilang kalau papa masih dicari tim evakuasi,” Rara membulatkan matanya.
“Bunda?”
“Bunda…,” Caca masih bingung bagaimana cara ia memberitahu Rara, “Bunda udah gak ada kak,” Caca menunduk. Rara histeris. Caca mencoba menenangkan kakaknya namun ia semakin histeris. Caca mencoba lebih tegar. Ia terus saja memberikan dukungan untuk Rara. Rara gelagapan. Ia tak tahu harus berkata apa lagi. Lidahnya serasa membeku.
“Anterin kakak ketemu mama, Ca,” pinta Rara lirih. Ia memohon dengan sangat. Perasaan tak sabar ingin melihat kondisi sang mama yang rasanya membakar hatinya.
“Tapi, kakak masih lemah. Kak Rara kan masih pucet gitu,” tolak Caca lembut. Ia tahu dirinya juga berkondisi sama. Namun, ia tak ingin kakaknya semakin down.
“Kalo kamu gak mau nganter kakak. Kakak akan kesana sendiri,” ancam Rara lekas melepaskan selimut biru tipis khas rumah sakit. Caca yang tak menyangka dengan kebersikerasan kakaknya akhirnya membuat dia panik. Ia menyerah. Caca pun mengantar Rara menuju ruang yang ditempati Bu Rhena.
Rara kembali histeris. Ia menjerit-jerit. Urat-uratnya nyaris keluar. Tenaga yang dimilikinya tak seberapa membuatnya pingsan begitu saja setelah menatap jenazah sang mama. Rara dikembalikan ke ruang rawatnya. Caca pun pindah ruangan ke ruangan yang sama dengan Rara.
Tiga jam lebih waktu yang habis hingga saat itu. Caca masih menangis. Air matanya membasahi bantal. Matanya sembap sayu. Kakaknya masih tak sadarkan diri. Tak lama, datang suster disela tangisnya.
“Dek, ayahmu namanya Pak Deni Heriawan, kan?” Caca mengangguk. Ia terperanjat. Duduk dengan harap cemas.
“Apa ada kabar mengenai Ayah saya, Sus?”
“Iya, Dek. Papa adek udah ketemu. Beliau masih hidup,” Caca tersenyum manis. Senyuman yang selama seharian ini tak terlihat.
“Sungguh? Dimana Ayah saya sekarang?”
“Ayah kamu memang masih hidup. Tapi, keadaannya kritis,” senyuman Caca meluntur begitu saja. Ia kembali mengeluarkan air matanya.
“Antarkan saya, Sus,” pinta Caca.
“Mari, Dek.”
Merekapun pergi menemui Pak Deni. Rasa syukur masih Caca kucurkan mengingat sang Ayah masih ada di dunia yang fana ini. Namun, harapan kesadaran sang papa sangatlah mutlak.
***
Matahari kini sudah lelah menemamani langit. Kini langitpun bermetafora. Jingga warna yang sesuai dengan indahnya senja ini.
Caca mengelus tangan sang papa yang masih tak sadarkan diri. Kini, bukan hanya Caca. Telah ada adik dan kakak dari orangtuanya juga Ara. Mereka masih mengharapkan kesadaran Pak Deni.
Dokter masuk.
“Permisi,” izinnya ramah. Mereka tersenyum kecut.
Dokter pun memeriksa keadaan Pak Deni dengan Susternya. Caca menghindar sementara. Tiba-tiba, dokter menggeleng. Ia tampak sanksi melihat kondisi Pak Deni. Dokter itu pun memberitahukan bahwa Pak Deni harus segera dibawa ke Jakarta karena alat kedokteran di daerah tersebut tidak memadai. Pak Deni semakin lemah.
Keluarga dari orangtua Caca pun memutuskan untuk mengikuti saran dari Dokter. Caca dan Rara tak berani berkomentar. Ia yakin keluarganya akan dapat membantu kesembuhan Ayahnya. Ini karena keluarga orangtuanya sangat harmonis dengan Ayahnya. Mereka menyayangi Pak Deni.

to be continue.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About Me

Foto Saya
Mahasiswi Diploma-Gizi, angkt 51 Institut Pertanian Bogor. Orisinal dr Cianjur.
Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive